OHAYOJEPANG - Sudah tiga bulan saya tinggal di Tokyo ketika muncul keinginan untuk berlibur keluar dari hiruk-pikuk kota.
Bersama beberapa teman, saya memutuskan untuk mendaki Gunung Fuji pada Agustus lalu.
Waktu tersebut memang dipilih dengan sengaja, karena mendaki hanya diperbolehkan dari awal Juli sampai awal September.
Di luar musim itu, puncak Fuji membeku, fasilitas ditutup, dan pihak berwenang sangat melarang pendakian.
Gunung Fuji bukan hanya gunung tertinggi di Jepang dengan ketinggian 3.776 meter, tetapi juga memiliki nilai budaya dan popularitas yang besar.
Gunung ini termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO dan dilindungi melalui undang-undang taman nasional serta keindahan pemandangan.
Baca juga:
Kami memilih jalur Subashiri, salah satu dari empat rute resmi selain Yoshida, Gotemba, dan Fujinomiya.
Pada 2025, diterapkan sejumlah aturan baru demi keselamatan pendaki dan perlindungan lingkungan.
Setiap pendaki wajib membayar biaya masuk sebesar 4.000 yen.
Dana ini digunakan untuk pemeliharaan jalur, pengelolaan pondok pendaki, serta operasi keselamatan.
Selain itu, pendaki juga harus melakukan prapendaftaran lewat sistem resmi, misalnya aplikasi SHIZUOKA FUJI NAVI untuk jalur Subashiri, Gotemba, dan Fujinomiya.
Prapendaftaran ini mencakup pelatihan keselamatan serta penerbitan kode QR yang wajib ditunjukkan di pos masuk jalur.
Walaupun jalur Subashiri tidak memiliki kuota harian, aturan prapendaftaran tetap berlaku.
Ada juga pembatasan masuk pada malam hari.
Dari pukul 14.00 hingga 03.00 waktu Jepang, hanya pendaki dengan reservasi pondok yang diizinkan naik.
Kebijakan ini ditujukan untuk mencegah praktik bullet climbing atau mendaki cepat tanpa istirahat yang berisiko.
Sementara itu, di sisi Yamanashi (jalur Yoshida), berlaku kuota harian 4.000 pendaki.
Sistem reservasi online digunakan untuk menegakkan aturan ini, bahkan jalur ditutup bila kuota sudah terpenuhi.
Baca juga:
Saya bukan pendaki berpengalaman, sehingga sebulan sebelum pendakian berusaha melatih stamina lewat jogging, bersepeda, dan badminton.
Sayangnya, latihan sering terhambat hujan Juli.
Meski begitu, saya menyadari pentingnya kebugaran karena keselamatan sangat bergantung pada kondisi fisik.
Perlengkapan juga dipersiapkan sejak awal Agustus.
Kami membawa sepatu gunung, pakaian hangat, senter kepala, jas hujan, sarung tangan, obat-obatan, dan masker.
Saya bahkan sempat membawa empat liter air, yang ternyata terlalu berat.
Kebutuhan perlengkapan ini sesuai dengan anjuran resmi yang menekankan pentingnya membawa pakaian tahan air, perlengkapan dingin, serta peta atau sumber daya offline.
Kondisi cuaca di ketinggian bisa berubah tiba-tiba, sehingga kesiapan menjadi kunci.
Pada 9 Agustus 2025, kami berangkat dari Shinjuku menuju Gotemba dengan bus, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus lain ke jalur Subashiri.
Setibanya di Pos 5 Subashiri, kami menyelesaikan prapendaftaran, mengikuti kuis keselamatan daring, dan menerima kode QR yang wajib ditunjukkan.
Proses ini terasa lebih sederhana dibandingkan pengisian formulir di lokasi, yang menurut pemerintah bisa menimbulkan antrean panjang saat musim ramai.
Pendakian dimulai dari ketinggian sekitar 2.000 meter.
Jalur hutan menyuguhkan pemandangan cerah, bahkan kami sempat melihat rusa.
Meski begitu, tanjakan menuju stasiun demi stasiun cukup berat, terutama dengan ransel penuh di punggung.
Setelah menempuh enam hingga tujuh jam perjalanan, kami tiba di Stasiun 8 (3.400 meter) sekitar pukul 17.30.
Kami bermalam di pondok pendaki, sebagaimana sangat dianjurkan pihak berwenang.
Lagi pula, masuk jalur malam tanpa reservasi pondok memang dilarang.
Pukul 02.00 dini hari, kami melanjutkan pendakian ke puncak.
Namun, cuaca justru berbalik.
Hujan deras dan angin kencang menghadang langkah kami.
Turun kembali ke bawah pada pukul 06.00 ternyata tidak kalah berat.
Jalur pasir vulkanik yang licin membuat saya terjatuh lebih dari sepuluh kali.
Risiko ini sejalan dengan peringatan resmi soal bahaya cuaca ekstrem dan efek ketinggian.
Meski tidak mencapai puncak, pengalaman ini meninggalkan banyak pelajaran tentang pentingnya mematuhi aturan dan memahami kondisi gunung.
Dari pengalaman mendaki dan panduan resmi, ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan:
Hanya mendaki pada musim resmi, yaitu awal Juli hingga awal September.
Ikuti peraturan: bayar biaya masuk, lakukan prapendaftaran, pesan pondok, dan patuhi jam masuk jalur.
Persiapkan fisik dan mental dengan latihan yang konsisten.
Bawa perlengkapan lengkap, khususnya pakaian tahan air, sepatu gunung, dan peta.
Tetap bersama kelompok, jangan nekat mendaki sendirian.
Persiapkan anggaran: ongkos transportasi 2.000–3.000 yen sekali jalan, biaya pondok 15.000–20.000 yen dengan makan, biaya masuk 4.000 yen, makanan seperti udon 1.000 yen, cokelat panas 500 yen, serta toilet 200–500 yen sekali pakai. Toilet hanya menerima koin, jadi sebaiknya siapkan uang receh.
Jaga kelestarian Gunung Fuji dengan tidak membuang sampah sembarangan dan menghormati aturan.
Penulis: Husen, seorang warga Indonesia yang baru pindah ke Jepang dan mengalami banyak hal baru saat mulai tinggal di Tokyo. (Karaksa Media Partner, September 2025)
Sumber:
@ohayo_jepang Mungkin di Indonesia, memberikan tip adalah cara kita menunjukkan rasa terima kasih kepada pelayan, kan? Tapi di Jepang, kebiasaan ini justru wajib dihindari! 😱 Alasannya sederhana, karena di Jepang, pelayanan maksimal sudah merupakan bagian dari harga dan gaji staf. Oleh karena itu, memberikan tip justru bisa dianggap kurang sopan, bahkan berpotensi membuat pelayan mengejar kamu untuk mengembalikan tip tersebut! 😅 Meskipun begitu, budaya Jepang tetap menjunjung tinggi pelayanan sebagai bagian dari profesionalisme. Nah, untuk menunjukkan apresiasi, ada tradisi lain yang lebih diterima, yaitu kokorozuke. Tradisi ini dilakukan dengan cara memberikan hadiah kecil dalam konteks tertentu, seperti kepada pemandu atau penerjemah. Jadi, saat makan di Jepang, kamu nggak perlu pusing lagi soal tip. Cukup nikmati makanannya saja~ Pernah dengar negara lain yang punya tradisi serupa? Komentar di bawah, dong! 🇯🇵✨ Kreator Konten: Zahra Permata Jodea Produser: Luthfi Kurniawan Penulis: FAESAL MUBAROK Editor: YUHARRANI AISYAH #OhayoJepang #Tinggaldijepang #KerjadiJepang ♬ suara asli - Ohayo Jepang