OHAYOJEPANG - Seorang peneliti asal Indonesia, Dase Hunaefi, yang juga dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), memperkenalkan teh putih atau white tea dalam program pertukaran peneliti di Tokai University, Kumamoto, Jepang.
Kegiatan yang berlangsung lebih dari satu bulan ini menjadi ajang untuk mengenalkan kekayaan teh Indonesia kepada akademisi Jepang.
Penelitian difokuskan pada analisis sensori dan aktivitas antioksidan dari jenis silver needle white tea.
Baca Juga:
● Tak Hanya Matcha, Ini 7 Jenis Teh Hijau Jepang yang Paling Populer
● Pencinta Teh Jepang Wajib Tahu! Musim Shincha dan Serunya Petik Daun Teh Segar
Di Jepang, tradisi minum teh umumnya lekat dengan matcha dan green tea.
Jenis teh putih masih belum banyak dikenal, sehingga penelitian ini menjadi langkah awal untuk memperkenalkan kekayaan teh Indonesia.
Dalam penelitian tersebut, digunakan lima sampel teh putih yang berasal dari berbagai wilayah penghasil teh di Indonesia, yakni Pasir Sarongge, Gamboeng, Lembang (Jawa Barat), Bayanan (Jawa Tengah), dan Sirah Kencong (Jawa Timur).
“Pada saat itu saya mengajukan tema terkait dengan sensory dan antioxidant activities dari silver needle white tea,” ujar Dase saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang, Sabtu (8/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa Jepang dikenal sebagai negara dengan tradisi teh hijau yang kuat, sehingga memperkenalkan teh putih menjadi pengalaman baru baginya.
Menurutnya, teh putih belum begitu populer di Jepang karena masyarakat setempat lebih akrab dengan matcha dan green tea.
Hal itu menjadi kesempatan baginya untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki teh dengan karakter yang berbeda.
Kelima teh putih tersebut sebelumnya juga telah diekspor ke beberapa negara.
Namun, di Indonesia sendiri, teh putih termasuk produk yang jarang ditemukan dan memiliki harga relatif mahal.
Hal ini disebabkan karena bahan baku teh putih diambil dari pucuk daun paling muda, yang belum membentuk klorofil dan masih memiliki bulu-bulu putih halus.
Sebelum keberangkatan ke Jepang, seluruh bahan penelitian telah melalui proses perizinan yang ketat.
IPB memastikan pengiriman sampel teh dilakukan sesuai dengan aturan Material Transfer Agreement (MTA) dan pengaturan hak publikasi agar tetap sesuai etika penelitian.

Selama penelitian di Jepang, teh putih Indonesia diuji secara sensori oleh panelis dari dua negara, yakni Indonesia dan Jepang.
Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan persepsi rasa antara kedua kelompok.
Panelis di Jepang mengenali cita rasa umami atau gurih dalam teh putih tersebut, sedangkan panelis di Indonesia tidak menemukan karakter serupa.
“Panelis Jepang mengenali rasa umami yang khas, padahal perlakuannya sama dengan yang kami lakukan di Indonesia, dan hal ini menarik karena menunjukkan bahwa persepsi rasa juga dipengaruhi oleh budaya serta kebiasaan mengonsumsi teh,” kata Dase.
Menurut hasil observasi, teh putih memiliki karakter rasa yang lebih ringan dan lembut dibandingkan green tea atau teh hijau pada umumnya.
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah silver needle white tea, yaitu teh yang diolah hanya dari pucuk termuda daun teh dan memiliki bulu-bulu putih halus di daunnya.
Karena hanya menggunakan bagian daun paling muda, jenis ini menjadi teh putih dengan kualitas tertinggi sekaligus harga paling mahal.
Selain silver needle, terdapat pula kelas lain seperti noble beauty serta white peony.
Namun, penelitian kali ini menggunakan teh kelas utama untuk menjaga kemurnian karakter sensori dan kualitas antioksidannya.

Proses pembuatan teh putih menekankan pada dua hal penting, yakni pemilihan pucuk daun dan teknik pengeringan.
Pucuk yang digunakan harus benar-benar muda dan masih memiliki bulu-bulu halus berwarna putih.
Setelah pemetikan, proses pengeringan dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak kandungan polifenol di dalam daun.
Suhu pengeringan menjadi faktor penentu utama terlalu panas dapat menurunkan kualitas senyawa aktif dalam teh.
Tidak seperti teh hitam atau oolong tea yang melewati proses fermentasi enzimatik, teh putih diolah tanpa fermentasi.
Proses ini serupa dengan teh hijau, tetapi karena bahan yang digunakan adalah pucuk termuda, kandungan senyawa aktifnya bisa lebih tinggi.
“Pengeringan tidak boleh terlalu panas. Kalau terlalu panas, senyawa polifenolnya bisa menurun,” jelas Dase.
Sejumlah jurnal ilmiah menunjukkan bahwa polifenol pada teh putih dapat setara bahkan lebih tinggi dibandingkan teh hijau, meskipun hasil tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Dari sisi potensi, teh putih Indonesia menunjukkan prospek positif untuk bersaing di pasar global.
Walaupun jumlah ekspor tidak diungkapkan, keberlanjutan pengiriman menunjukkan adanya permintaan yang konsisten.
Di dalam negeri, teh putih juga mulai dikenal melalui penjualan daring dengan kisaran harga sekitar Rp 80.000.
Konsumen yang mencobanya mengaku merasa lebih tenang dan rileks setelah meminumnya, karena rasanya yang ringan dan efeknya yang menenangkan.
Penelitian di IPB pun terus berlanjut untuk mengkaji lebih dalam kandungan antioksidan teh putih Indonesia.
Uji laboratorium dilakukan secara in vitro untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari berbagai wilayah asal teh putih tersebut.
Hasil awal menunjukkan bahwa teh putih memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan sebanding dengan teh hijau.
“Secara in vitro, hasilnya menunjukkan bahwa kandungan antioksidan teh putih Indonesia cukup tinggi dan sangat bisa dibandingkan dengan teh hijau,” ucap Dase.
Ia menilai, teh putih memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai produk unggulan teh Indonesia di masa depan.
Dengan kualitas tinggi, karakter rasa yang unik, dan manfaat kesehatan yang menjanjikan, teh putih Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat posisi teh nasional di pasar global.
Produk ini tidak hanya berpotensi sebagai komoditas ekspor, tetapi juga sebagai identitas baru kekayaan hayati dan budaya Indonesia.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)