OHAYOJEPANG – Matcha kini menjadi tren global, dari latte, es krim, hingga skincare, semua berlomba menghadirkan varian matcha.
Namun, banyak orang masih mengira matcha dan green tea adalah jenis yang sama.
Padahal, menurut tea sommelier sekaligus matcha educator, Ratna Somantri, keduanya memiliki perbedaan mendasar, baik dari proses pembuatan, rasa, maupun kualitas daun tehnya.
Baca Juga:
Menurut Ratna, tidak semua teh bubuk hijau bisa disebut matcha.
Matcha asli hanya dibuat dari tencha daun teh yang melalui proses khusus.
Sebelum dipetik, tanaman teh untuk tencha ditutupi atau di-shade selama dua hingga tiga minggu.
Proses ini dalam bahasa Jepang disebut kabuse.
Tujuannya untuk mengurangi paparan sinar matahari agar klorofil meningkat dan menghasilkan warna hijau pekat.
Selain memperkuat warna, kabuse juga meningkatkan kadar L-theanine, senyawa yang memberi rasa umami dan efek menenangkan.
Proses ini sekaligus menurunkan katekin yang menyebabkan rasa pahit.
Matcha grade tinggi biasanya mengalami kabuse minimal 20 hari, sedangkan grade rendah sekitar dua minggu.
Ratna menjelaskan bahwa perbedaan utama matcha terletak pada proses setelah panen.

Daun teh yang disebut tencha tidak digulung seperti teh hijau biasa, melainkan dikeringkan perlahan tanpa panas berlebih untuk menjaga warna dan aroma alaminya tetap segar.
Setelah itu, tulang daun dibuang sepenuhnya sebelum digiling halus.
“Tulang daun harus dihilangkan supaya hasil gilingannya benar-benar lembut seperti bedak, dan ini juga yang membuat tekstur matcha jauh lebih halus daripada bubuk teh hijau biasa,” ujar Ratna saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang melalui WhatsApp, Selasa (4/11/2025).
Dari sisi ilmiah, matcha dan green tea berasal dari tanaman teh yang sama.
Namun, Jepang memiliki berbagai cultivar (varietas tanaman teh) dengan karakter rasa berbeda.
Ratna menjelaskan, Yabukita merupakan cultivar paling umum di Jepang, tapi bukan yang terbaik untuk matcha karena kadar umaminya rendah.
Untuk matcha premium, digunakan varietas seperti Goko, Ujihikari, Asahi, dan Samidori, yang mampu menghasilkan kadar L-theanine tinggi ketika di-shade.
Proses shading tidak hanya memengaruhi rasa, tapi juga kandungan gizi.
Semakin lama tanaman di-shade, semakin tinggi kadar klorofil dan L-theanine.
Senyawa ini membantu meningkatkan fokus dan memberi efek relaksasi tanpa membuat kantuk.
Ratna menekankan, tujuan utama kabuse dalam tradisi Jepang bukan soal kesehatan, tapi demi cita rasa terbaik lembut, manis, dan kaya umami.
Biasanya orang di Jepang menikmati matcha untuk menikmati rasa umami bukan melihat dari manfaat kesehatannya.

Ratna menjelaskan bahwa mengenali matcha asli sebenarnya tidak sulit jika kita tahu apa yang harus diperhatikan.
Ia menyebut ada tiga hal sederhana yang bisa jadi patokan yaitu tekstur, warna, dan rasa.
Menurutnya, matcha berkualitas baik punya tekstur sangat halus seperti bedak, bukan butiran kasar yang terasa di lidah.
Dari segi warna, matcha asli selalu tampak hijau terang dan merata, bukan hijau kusam seperti bubuk teh biasa.
Terakhir, soal rasa, matcha sejati memiliki cita rasa umami yang lembut dan seimbang, tanpa pahit berlebihan yang sering muncul pada bubuk teh hijau kualitas rendah.
“Kalau matcha terasa pahit tanpa rasa manis atau gurih sama sekali, itu bisa jadi bukan matcha, bisa jadi green tea powder atau matcha yang kualitasnya rendah,” jelas Ratna.

Ratna menjelaskan bahwa perbedaan iklim menjadi alasan utama mengapa matcha Jepang sulit ditiru di Indonesia.
Di Jepang, tanaman teh tumbuh dalam siklus empat musim.
Saat musim dingin, tanaman teh mengalami masa “hibernasi” alami, di mana pertumbuhannya melambat dan nutrisi terkonsentrasi di dalam daun.
Ketika musim semi tiba, pucuk-pucuk baru yang muncul memiliki rasa manis alami dan aroma lembut khas teh Jepang.
Sementara itu, Indonesia beriklim tropis dengan paparan sinar matahari hampir sepanjang tahun.
Kondisi ini membuat daun teh tumbuh lebih cepat, tetapi tidak sempat membentuk kadar asam amino tinggi yang menghasilkan rasa umami khas matcha Jepang.
Karena itu, menurut Ratna, cita rasa matcha lokal masih belum bisa mencapai kelembutan yang sama.
Menurut Ratna, Indonesia saat ini baru mampu menghasilkan culinary grade matcha, yaitu matcha yang cocok digunakan untuk campuran makanan dan minuman seperti latte atau kue.
Sementara ceremonial grade, yakni matcha berkualitas tinggi yang diminum murni tanpa tambahan gula atau susu, masih menjadi tantangan besar untuk dicapai.
“Kalau untuk dinikmati tanpa gula atau susu, kita belum bisa,” katanya.
Pada akhirnya, perbedaan antara matcha dan green tea terletak pada proses dan kualitas yang membentuk karakter keduanya.
Matcha melalui tahapan khusus mulai dari peneduhan, penghilangan tulang daun, hingga penggilingan halus yang menghasilkan rasa umami lembut dan warna hijau pekat.
Sementara green tea diproses lebih sederhana dengan hasil rasa yang lebih segar dan ringan.
Melalui penjelasan Ratna, terlihat bahwa matcha bukan sekadar bubuk teh hijau, melainkan hasil dari teknik, tradisi, dan ketelitian yang membuatnya memiliki identitas tersendiri dalam dunia teh.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)