
Ratna menjelaskan bahwa perbedaan iklim menjadi alasan utama mengapa matcha Jepang sulit ditiru di Indonesia.
Di Jepang, tanaman teh tumbuh dalam siklus empat musim.
Saat musim dingin, tanaman teh mengalami masa “hibernasi” alami, di mana pertumbuhannya melambat dan nutrisi terkonsentrasi di dalam daun.
Ketika musim semi tiba, pucuk-pucuk baru yang muncul memiliki rasa manis alami dan aroma lembut khas teh Jepang.
Sementara itu, Indonesia beriklim tropis dengan paparan sinar matahari hampir sepanjang tahun.
Kondisi ini membuat daun teh tumbuh lebih cepat, tetapi tidak sempat membentuk kadar asam amino tinggi yang menghasilkan rasa umami khas matcha Jepang.
Karena itu, menurut Ratna, cita rasa matcha lokal masih belum bisa mencapai kelembutan yang sama.
Menurut Ratna, Indonesia saat ini baru mampu menghasilkan culinary grade matcha, yaitu matcha yang cocok digunakan untuk campuran makanan dan minuman seperti latte atau kue.
Sementara ceremonial grade, yakni matcha berkualitas tinggi yang diminum murni tanpa tambahan gula atau susu, masih menjadi tantangan besar untuk dicapai.
“Kalau untuk dinikmati tanpa gula atau susu, kita belum bisa,” katanya.