Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Worklife

LPK Jadi Miniatur Kehidupan di Jepang, Persiapan Mental buat Calon Pemagang

Kompas.com - 16/10/2025, 11:05 WIB

OHAYOJEPANG - Sebelum menapaki dunia kerja di Jepang, para calon pemagang dari Indonesia lebih dulu menjalani proses pembentukan mental dan disiplin di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).

Di lembaga pelatihan ini; suasana, aturan, hingga cara belajar dibuat menyerupai kehidupan di Jepang. 

Tujuannya menanamkan etos kerja, rasa tanggung jawab, dan kemandirian agar peserta siap menghadapi tantangan hidup dan kerja di Negeri Sakura.

Baca juga:

Pelatihan yang Menumbuhkan Semangat dan Mental Tangguh

Bagi para peserta magang, masa pelatihan di LPK menjadi tahap penting sebelum berangkat ke Jepang.

Menurut pengajar atau sensei di LPK Fujisan Taufik Rahman, sekitar 70 persen peserta LPK Fujisan sudah memiliki gambaran jelas tentang proses pelatihan dan menunjukkan semangat tinggi sejak awal mengikuti program.

Ia menambahkan, peserta di kelas pemantapan umumnya sudah memiliki penempatan di perusahaan Jepang, sehingga antusiasmenya jauh lebih besar.

“Kalau di kelas pemantapan, semangat peserta sudah mencapai 70 sampai 100 persen karena mereka sudah dapat perusahaan dan hanya menunggu waktu keberangkatan,” kata Taufik saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang di LPK Fujisan Indonesia, Kebon Jeruk, Jakarta pada Senin (13/10/2025).

Sementara itu, menurut pengajar lainnya Muhammad Nabil Raihan, peserta di kelas reguler umumnya memerlukan waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan pelatihan dan kebiasaan disiplin yang diterapkan di LPK Fujisan.

“Awalnya mereka masih agak bimbang karena baru sebulan bergabung, tapi setelah melihat senior yang sudah berangkat dan difoto dengan jaket keberangkatan, semangat mereka langsung naik hingga sekitar 60-70 persen,” ucap Nabil.

Asrama Sebagai Cerminan Disiplin dan Budaya Kerja Jepang

Salah satu ciri khas LPK Fujisan adalah sistem pelatihan yang meniru kehidupan di Jepang. 

Taufik menyebut asrama sebagai 'miniatur Jepang' tempat peserta belajar hidup disiplin dan bertanggung jawab selama 24 jam. 

“Kami meniru budaya itu di asrama sebagai miniatur Jepang agar mereka siap secara mental dan perilaku,” ucapnya.

Pelatihan tidak hanya fokus pada bahasa, melainkan juga pembentukan karakter dan kebiasaan sehari-hari.

Dari cara berjalan lebih cepat, menjaga kebersihan, hingga larangan merokok sembarangan; semua diarahkan agar peserta siap menghadapi kehidupan di negara maju.

Asrama ini diperuntukkan bagi peserta laki-laki, sedangkan peserta perempuan tinggal bersama di kos.

Pengajar tetap melakukan pengawasan rutin dan pembinaan melalui kegiatan bersama, agar nilai tanggung jawab dan kebersamaan tetap tumbuh.

Nabil menegaskan bahwa baik di asrama maupun di tempat kos, prinsip tepat waktu menjadi hal yang tidak bisa ditawar.

“Di Jepang, terlambat satu atau dua menit saja sudah dianggap fatal, jadi kami membiasakan peserta untuk selalu tepat waktu sejak di LPK,” jelasnya. 

Hasilnya, kebiasaan positif itu kini sudah terlihat dalam keseharian peserta.

Selain itu, sistem tanggung jawab juga diterapkan di lingkungan pelatihan. 

Peserta diberi peran seperti pemimpin asrama, penjaga kebersihan, hingga pengawas olahraga. 

Menurut Taufik, sistem ini penting untuk meniru suasana dunia kerja Jepang. 

“Kami ingin mereka terbiasa dengan budaya itu agar tidak kaget nanti di Jepang,” ujarnya.

Pendekatan Mental dan Keberanian

Menurut Taufik, tantangan terbesar bagi peserta bukan terletak pada teori bahasa, melainkan kesiapan menghadapi kehidupan di Jepang. 

“Hal yang paling menantang justru soal kehidupan, bukan materi bahasa, karena teori bisa dipelajari, tapi pengalaman hidup hanya bisa didapat lewat praktik langsung,” jelas Taufik.

Ia kerap membagikan pengalaman pribadinya saat menjadi peserta magang agar siswa lebih memahami realitas kerja di Jepang. 

Menurutnya, banyak peserta yang lebih antusias ketika materi disampaikan melalui obrolan santai.

Nabil menggunakan pendekatan berbeda. 

Ia mengutamakan praktik berbicara agar peserta terbiasa berani menggunakan bahasa Jepang. 

“Secara teori mereka bisa memahami, tapi saat praktik banyak yang kesulitan karena gugup, takut salah, atau takut diketawain,” kata Nabil.

Karena itu, ia mengadakan sesi khusus selama satu jam penuh untuk berbicara dalam bahasa Jepang dan menekankan bahwa kesalahan bukan masalah selama peserta berani mencoba berbicara.

Selain itu, Nabil menyediakan sesi konsultasi pribadi setelah jam pelatihan. 

“Biasanya peserta kehilangan motivasi karena nilai yang rendah atau masalah pribadi, jadi kami para pengajar selalu menyediakan waktu konsultasi setiap hari setelah pukul empat sore,” ujarnya. 

Dalam sesi tersebut; para pengajar mendengarkan berbagai keluhan peserta, mulai dari masalah keluarga, hubungan pribadi, hingga kesulitan belajar. 

Mereka berupaya memahami kondisi setiap murid agar dapat memberikan dukungan yang sesuai.

Suasana di dalam kelas pemantapan LPK Fujisan.
Suasana di dalam kelas pemantapan LPK Fujisan.

Transformasi Karakter Sebagai Tujuan Utama

Perubahan peserta setelah menjalani pelatihan di LPK Fujisan dinilai sangat signifikan. 

Menurut Taufik, kehidupan peserta berubah sekitar 60 persen, baik dalam hal kebiasaan maupun etos kerja. 

“Karena kami menyiapkan siswa untuk bekerja di negara maju, jadi tidak bisa membawa kebiasaan lama dari Indonesia ke sana,” kata Taufik.

Nabil juga melihat perkembangan yang nyata dari sisi keberanian dan kemandirian peserta.

“Saya punya murid yang awalnya pemalu dan tidak bisa bahasa Jepang sama sekali, tapi dia belajar sendiri lewat aplikasi dan ngobrol dengan orang Jepang di internet sampai akhirnya lancar dan percaya diri,” ucap Nabil.

Bagi para pengajar, momen perubahan seperti itu menjadi bukti nyata keberhasilan proses pembinaan di LPK Fujisan. 

Taufik menjelaskan bahwa hampir semua peserta datang dengan tingkat disiplin yang sebenarnya sudah baik menurut standar Indonesia, tetapi masih jauh dari standar Jepang. 

Para pengajar membimbing mereka dari awal hingga benar-benar terbiasa dengan ritme dan tanggung jawab seperti di dunia kerja Jepang.

Magang Sebagai Batu Loncatan untuk Masa Depan

Baik Taufik maupun Nabil sepakat bahwa keberhasilan peserta tidak diukur hanya dari saat mereka bekerja di Jepang. 

Taufik mengatakan bahwa hal yang paling membanggakan baginya bukan ketika peserta berhasil di Jepang, melainkan saat mereka pulang ke Indonesia dan mampu menerapkan hasil pengalaman magangnya.

“Jepang itu hanya batu loncatan, saya bangga kalau mereka bisa memanfaatkan hasil magangnya untuk mewujudkan cita-cita seperti membuka usaha atau membangun kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Nabil memiliki pandangan serupa.

Ia menilai bahwa pengalaman magang seharusnya menjadi fondasi untuk kehidupan yang lebih mandiri. 

Menurutnya, magang bukan sekadar kesempatan bekerja di luar negeri, melainkan proses pembentukan diri untuk menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh.

Banyak peserta yang pulang dengan kemampuan baru, tabungan, dan rencana hidup yang lebih matang. 

“Saya bangga kalau melihat mantan peserta sudah punya usaha sendiri atau membangun rumah, karena itu berarti tujuan mereka tercapai,” tambahnya.

Bagi para pengajar di LPK Fujisan; keberangkatan ke Jepang hanyalah awal dari perjalanan panjang membentuk pribadi yang kuat, disiplin, dan bertanggung jawab. 

Karakter itu lahir dari proses pelatihan yang meniru kehidupan nyata di Negeri Sakura.

(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.