Menurut Bowo, tantangan terbesar bukan pada bahasa, melainkan adaptasi budaya.
“Masalah yang sering muncul di Jepang itu kadang peserta masih terbawa kebiasaan Indonesia, padahal sudah paham aturan di sana, jadi pembiasaan disiplin di tahap pelatihan sangat penting,” jelasnya.
Kedua lembaga juga menyediakan sesi konsultasi pribadi untuk membantu peserta yang kehilangan motivasi atau mengalami tekanan.
Pendampingan ini menjaga keseimbangan emosional peserta agar tetap fokus hingga keberangkatan.
Perubahan peserta setelah mengikuti pelatihan umumnya terlihat jelas.
Mereka menjadi lebih disiplin, tangguh, dan terarah.
Pengalaman hidup di asrama membentuk kebersamaan, sementara latihan fisik memperkuat daya tahan.
“Anak-anak yang berangkat bukan hanya dibekali kemampuan bahasa, tetapi juga mental dan karakter kerja yang kuat, karena kami ingin mereka tidak berhenti sebagai tenaga kerja sementara, melainkan mampu membuka peluang baru ketika kembali ke Indonesia,” kata Anggy.
Hal senada disampaikan Bowo yang menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan peluang karir lebih tinggi.
“Kami saat ini tengah mengembangkan program untuk level profesional, seperti mekanik mesin dan pengemudi, dengan kisaran gaji yang jauh lebih tinggi, bahkan bisa mencapai sekitar Rp 500 juta per tahun, dan seluruh biaya awalnya ditanggung oleh perusahaan,” ujar Bowo.
Adanya proses pelatihan terstruktur, pengawasan ketat, dan kerja sama yang kuat dengan pihak Jepang, kedua lembaga ini berhasil mencetak tenaga muda yang siap menghadapi dunia kerja internasional.
Dari ruang kelas di Indonesia hingga tempat pelatihan di Jepang, mereka ditempa menjadi pribadi yang tangguh, berkarakter, dan membawa semangat baru bagi generasi pekerja Indonesia di luar negeri.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)