Mereka juga dapat menerima lamaran jauh sebelum mahasiswa benar-benar siap, bahkan saat kegiatan akademik masih berlangsung.
Wawancara pun sering dimulai saat semester berjalan, sehingga mengganggu fokus belajar mahasiswa tingkat akhir.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah bersama dunia usaha menetapkan pedoman baru yang menyesuaikan waktu promosi dan wawancara agar tidak mengganggu kegiatan akademik.
Meski begitu, tantangan tetap muncul karena perusahaan asing atau perusahaan kecil yang tidak terikat pedoman ini dapat memulai perekrutan lebih awal.
Akibatnya, beberapa mahasiswa berbakat direkrut lebih dulu oleh pihak tersebut, sementara perusahaan besar harus bersaing lebih keras untuk mendapatkan kandidat sesuai kebutuhan mereka.
Pada akhirnya, meski jadwal shūkatsu telah diatur sedemikian rupa, setiap sistem memiliki kekurangan tersendiri.
Hal ini menjadi konsekuensi alami dari praktik perekrutan serentak yang telah menjadi tradisi di Jepang, di mana koordinasi antara universitas, mahasiswa, dan dunia usaha harus terus disesuaikan agar lebih efektif.
Menariknya, istilah shūkatsu tidak hanya digunakan dalam konteks pencarian kerja.
Melansir The Japan News, istilah ini juga berarti “end-of-life planning”, atau perencanaan menjelang akhir hayat.
Selama ini, maknanya sering dikaitkan dengan aktivitas orang lanjut usia, seperti menyiapkan pengelolaan barang-barang pribadi setelah meninggal dunia.