OHAYO JEPANG - Di tengah dominasi permainan digital, sebagian penggemar justru masih menemukan keseruan dalam permainan klasik.
Salah satunya lewat aktivitas mengoleksi dan memainkan kartu Pokémon.
Faisal Raffly Alfairuz (21), seorang kolektor sekaligus pemain kartu Pokémon yang mulai menekuni hobinya sejak akhir tahun 2024.
Ia mengenang awal mula ketertarikannya ketika tanpa sengaja mengunjungi sebuah event Pokémon di Neo Soho, Jakarta.
“Saya waktu itu ke sana bareng teman, terus ternyata ada event Pokémon. Dari situ mulai tertarik karena acaranya seru, ada belajar main, dapat hadiah kecil juga,” ujar Faisal saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang melalui WhatsApp, Rabu (29/10/2025).
Dari pengalaman itu, Faisal mulai mencari tahu lebih dalam tentang permainan Pokémon Trading Card Game (TCG) dan akhirnya rutin membeli kartu lewat berbagai platform.
Baca Juga:
Berbeda dari kebanyakan kolektor yang tertarik karena nostalgia masa kecil atau karakter ikonik seperti Pikachu, Faisal justru tertarik dari sisi mekanisme permainannya.
Ia mengaku awalnya tidak terlalu mengenal Pokémon.
Namun setelah mencoba bermain, justru terpikat oleh sistem dan strateginya.
“Saya suka game yang mekanismenya rumit, jadi pas tahu Pokémon TCG itu lebih dari sekadar koleksi, saya langsung tertarik,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa di Indonesia, permainan kartu Pokémon lebih dikenal dibanding trading card game lain karena komunitasnya yang aktif dan mudah dijangkau.
Kini, meskipun baru sekitar setahun mendalami hobi ini, Faisal sudah memiliki sejumlah koleksi kartu favoritnya.
Salah satu karakter yang paling ia sukai adalah Gardevoir, yang menurutnya punya desain menarik tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
Nilai jual kartu Pokémon bisa mencapai jutaan rupiah, tergantung kelangkaan dan tingkat popularitas karakternya.
Namun Faisal menilai fenomena harga tinggi ini lebih banyak dipengaruhi oleh antusiasme komunitas atau “fandom” dibanding faktor intrinsik dari kartunya.
“Menurut saya, yang menentukan harga itu fandom-nya. Kalau karakternya terkenal seperti Charizard atau Pikachu, otomatis harganya bisa gila-gilaan,” jelas Faisal.
Ia menambahkan bahwa kelangkaan memang berpengaruh, tapi tanpa dukungan popularitas, kartu langka pun bisa tetap bernilai rendah.
Bagi Faisal sendiri, mengoleksi kartu bukanlah bentuk investasi.
Ia lebih melihatnya sebagai wadah ekspresi dan hiburan.
“Saya nggak melihat kartu Pokémon sebagai investasi. Buat saya ini hobi aja, worth to collection, not worth to invest,” ungkapnya.

Meski tidak menganggapnya sebagai aset, Faisal tetap merawat kartunya dengan baik.
Ia menyimpan semua kartu dalam kotak khusus berbentuk persegi panjang yang mampu menampung ratusan kartu agar tidak melengkung atau rusak akibat udara dingin.
Selain itu, ia juga aktif mengikuti kegiatan komunitas Pokémon di Facebook.
Komunitas ini tidak hanya tempat jual beli, tetapi juga ajang berbagi informasi dan mengikuti event pertemuan rutin di kafe atau toko permainan.
Meskipun belum ada satu wadah besar yang menaungi semua penggemar di Indonesia, menurutnya komunitas-komunitas kecil di berbagai daerah sudah cukup aktif dan saling terhubung lewat media sosial.
Lebih dari sekadar mengoleksi, Faisal kini rutin mengikuti turnamen Pokémon TCG yang diadakan di berbagai tempat seperti Indomaret, Toy’s Kingdom, dan Neo Soho.
Ia mengaku lebih menikmati aspek kompetitif permainan ini.
“Kalau koleksi butuh dana besar, jadi saya lebih pilih ikut turnamen. Selain seru, kadang juga bisa dapat hadiah uang,” kata Faisal.
Dalam setiap turnamen, pemain harus membawa dek (susunan kartu) miliknya sendiri.
Menurut Faisal, keberhasilan tidak bergantung pada harga atau kelangkaan kartu, melainkan pada strategi dan kemampuan membaca permainan lawan.
Ia menjelaskan bahwa sistem turnamen ini bahkan bisa membawa pemain ke tingkat internasional.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa unsur keberuntungan tetap punya peran.
“Kalau hoki ya bisa menang, tapi yang paling penting tetap skill dan strategi. Kadang kartu murah pun bisa ngalahin yang mahal,” ucapnya.
Faisal menilai perkembangan komunitas kartu Pokémon di Indonesia masih berada di tahap bertumbuh secara organik.
Banyak yang mengenal kartu ini hanya dari media sosial atau melihatnya di event besar.
Sementara minat generasi muda, menurutnya, masih terbatas karena dominasi permainan digital.
Namun, adanya turnamen dan event komunitas yang rutin diselenggarakan memberi harapan bahwa minat terhadap kartu fisik masih tetap hidup.
“Anak muda sekarang mungkin lebih tahu kartu Pokémon dari harganya yang mahal, bukan dari mainnya. Tapi kalau makin banyak event, pasti makin banyak juga yang tertarik,” kata Faisal.
Di tengah dunia serba digital, kisah seperti milik Faisal menunjukkan bahwa permainan fisik masih punya tempat tersendiri.
Bagi para penggemar sejati, kartu Pokémon bukan sekadar selembar karton berilustrasi, melainkan medium nostalgia, strategi, dan persahabatan yang terus berkembang bersama waktu.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)