OHAYOJEPANG - Matcha sering dianggap sama dengan green tea karena sama-sama berasal dari daun teh hijau.
Padahal, keduanya berbeda jauh dari sisi proses, rasa, hingga hasil akhir.
Tea sommelier dan matcha educator, Ratna Somantri menjelaskan bahwa matcha baru bisa disebut matcha jika dibuat dari tencha, bukan sekadar teh hijau bubuk biasa.
Menurut Ratna, tencha memiliki proses pengolahan yang jauh lebih rumit dibanding green tea biasa.
“Tidak semua teh bubuk bisa disebut matcha, karena matcha itu harus dibuat dari tencha,” ucap Ratna saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang melalui WhatsApp, Selasa (4/11/2025).
Tahapan pembuatan tencha inilah yang menjadi pembeda utama, mulai dari cara menanam, memanen, hingga menggiling daun teh menjadi bubuk halus seperti bedak.
Baca Juga:
Tahapan paling penting dalam pembuatan matcha adalah proses shading atau penutupan tanaman teh.
Di Jepang, proses ini disebut kabuse.
Tanaman teh ditutup selama 2–3 minggu sebelum dipetik untuk mengurangi paparan sinar matahari langsung.
Penutupan ini biasanya dilakukan dengan jerami, tanah, atau paranet hitam yang disebut black mesh.
Semakin lama proses shading, semakin tinggi kualitas matcha yang dihasilkan.
“Untuk grade yang tinggi, tanaman biasanya ditutup minimal 20 hari. Kalau hanya dua minggu, hasilnya berbeda sekali dari segi warna dan rasa,” katanya.
Proses shading berpengaruh besar terhadap kandungan kimia dalam daun teh.
Ketika paparan matahari berkurang, kadar klorofil meningkat, menghasilkan warna hijau cerah yang khas.
Sementara itu, kandungan katekin yang memberi rasa pahit dan sepat menurun, dan kadar L-theanine meningkat.
Senyawa L-theanine inilah yang memberikan rasa umami serta efek menenangkan tanpa membuat kantuk.
Setelah masa shading selesai, daun teh dipetik dan diolah menjadi tencha.
Berbeda dengan green tea biasa, daun tencha tidak melalui proses rolling atau penggulungan.
“Kalau teh hijau lain digulung agar karakter rasanya lebih kuat, tencha tidak. Karena nantinya akan digiling, jadi tidak perlu digulung,” ucap Ratna.
Daun teh kemudian dikeringkan dengan proses aerasi, yaitu pengeringan menggunakan tiupan udara agar daun tidak terkena panas berlebih.
Tujuannya menjaga warna dan aroma alami teh.
Tahap berikutnya adalah membuang tulang daun agar hasil gilingan lebih halus.

“Tulang daun harus dihilangkan supaya hasil gilingannya benar-benar lembut dan tidak ada rasa getir yang tersisa,” jelas Ratna.
Proses penghilangan tulang daun ini membuat bubuk matcha terasa sangat halus, bahkan menyerupai tekstur bedak.
Karena itu, matcha yang berkualitas tinggi akan terasa lembut di lidah dan tidak meninggalkan rasa pahit berlebihan.
Ratna menyebut ada beberapa cara sederhana untuk mengenali matcha asli berkualitas tinggi.
Pertama, dari teksturnya yang sangat halus bukan kasar atau berbutir.
Kedua, dari warnanya yang hijau cerah dan merata.
Matcha palsu atau berkualitas rendah biasanya berwarna kehijauan kusam atau bahkan kekuningan.
Selain itu, rasa juga bisa menjadi indikator penting.
Matcha asli memiliki rasa umami yang lembut dan sedikit manis alami, bukan pahit.
“Kalau matcha terasa pahit tanpa umami, besar kemungkinan itu green tea powder, bukan matcha asli,” jelasnya.
Proses pembuatan matcha bukan sekadar menggiling daun teh menjadi bubuk.
Ia adalah hasil dari tradisi panjang, ketelitian, dan pemahaman mendalam terhadap tanaman teh.
Dari shading, pengeringan tanpa panas berlebih, hingga penggilingan halus tanpa tulang daun semua tahapan dilakukan untuk menjaga keaslian rasa umami dan warna hijau cerah yang khas.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)