OHAYOJEPANG - Bagi banyak calon pekerja Indonesia yang ingin meniti karier di Jepang, lulus ujian bahasa Jepang bukan sekadar soal tata bahasa atau hafalan kosakata.
Kemampuan berbahasa Jepang menjadi kunci pembuka peluang kerja di berbagai sektor, mulai dari caregiving hingga konstruksi.
Hampir semua jalur kerja di Jepang mensyaratkan bukti kemampuan bahasa Jepang melalui ujian resmi seperti Japanese-Language Proficiency Test (JLPT) atau JFT-Basic.
Sertifikasi tersebut menjadi tiket kelayakan kerja sekaligus bukti kesiapan beradaptasi di lingkungan kerja Jepang.
Dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya permintaan tenaga asing di Jepang turut memengaruhi cara ujian-ujian ini dirancang.
Selain JLPT yang sudah dikenal luas, kini ada beberapa ujian bahasa Jepang lain yang diakui secara resmi dan menilai kemampuan komunikasi praktis, bukan hanya kemampuan akademis.
Baca juga:
Jepang saat ini menghadapi tantangan besar akibat populasi menua dan jumlah tenaga kerja yang terus menurun.
Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mencatat sekitar 2,3 juta pekerja asing di negara itu per Oktober 2024, naik 12,4 persen dibanding tahun sebelumnya.
Pertumbuhan terbesar terjadi di sektor kesehatan, manufaktur, perhotelan, dan jasa.
Untuk mendukung ekspansi tenaga kerja asing ini, Jepang memperkenalkan visa Specified Skilled Worker (SSW) pada 2019.
Visa ini dirancang bagi tenaga kerja asing yang memiliki keterampilan praktis dan kemampuan bahasa Jepang dasar.
Namun, setiap pelamar wajib lulus ujian bahasa Jepang yang diakui.
Hal itu guna membuktikan kemampuan memahami instruksi kerja, berkomunikasi di tempat kerja, serta mematuhi panduan keselamatan.
Japanese-Language Proficiency Test (JLPT) tetap menjadi ujian bahasa Jepang paling dikenal di seluruh dunia.
Ujian ini diselenggarakan dua kali setahun di lebih dari 80 negara, termasuk Indonesia, oleh Japan Foundation dan Japan Educational Exchanges and Services (JEES).
JLPT memiliki lima tingkatan, dari N5 (pemula) hingga N1 (lanjutan).
Sebagian besar pencari kerja Jepang memulai dari N5 atau N4 yang menilai tata bahasa, membaca, dan mendengarkan.
Meski diakui luas, JLPT memiliki kekurangan karena tidak menguji kemampuan berbicara.
Keterbatasan ini menjadi tantangan di sektor-sektor seperti caregiving, konstruksi, dan perhotelan yang menuntut komunikasi langsung.
Untuk visa SSW, pelamar minimal harus memiliki sertifikat JLPT N4.
Ujian JFT-Basic yang dikelola Japan Foundation dirancang untuk mengukur kemampuan berkomunikasi sehari-hari dalam kehidupan dan pekerjaan di Jepang.
Tes ini dilakukan secara komputerisasi (CBT) dan dapat diikuti beberapa kali dalam setahun di pusat ujian Prometric seperti Jakarta, Surabaya, dan Denpasar.
Ujian ini mencakup empat area: membaca, mendengarkan, pengetahuan bahasa, dan pemahaman.
Semua pertanyaan berbasis situasi, seperti memahami instruksi atasan atau membaca pengumuman tempat kerja.
Keunggulannya terletak pada kemudahan penjadwalan dan hasil yang keluar lebih cepat, sehingga cocok bagi calon pekerja dengan batas waktu visa yang ketat.
Untuk kategori Specified Skilled Worker (i), pelamar wajib lulus JFT-Basic setara level A2.
Selain JLPT dan JFT-Basic, ada dua ujian populer lain yang sering digunakan sebagai latihan atau uji coba yaitu NAT-TEST dan TOP-J Practical Japanese Test.
Kedua tes ini tidak berlaku untuk visa SSW, namun tetap banyak digunakan oleh lembaga pelatihan bahasa Jepang di Indonesia.
NAT-TEST diselenggarakan oleh Senmon Kyouiku Publishing Co. Ltd. dengan format mirip JLPT, dari level 5 hingga 1.
Tes ini sering diakui sekolah kejuruan dan perusahaan untuk kandidat yang masih menjalani pelatihan.
Sementara itu, TOP-J Practical Japanese Test yang dijalankan Asia Association for Education and Exchange menilai kemampuan bahasa sekaligus pemahaman budaya Jepang.
Tes ini diadakan lebih sering dalam setahun, membantu peserta yang membutuhkan sertifikat dalam waktu singkat.
Meski tidak wajib untuk semua pekerjaan, kedua tes tersebut tetap diakui luas sebagai bukti kesiapan komunikasi calon pekerja asing.
Sektor perawatan dan lansia menjadi salah satu bidang dengan kekurangan tenaga kerja terbesar di Jepang.
Banyak tenaga asal Indonesia telah berkontribusi melalui kerja sama Indonesia–Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan program SSW.
Untuk memastikan tenaga caregiver dapat berkomunikasi dengan baik dan bekerja aman, Jepang mengembangkan dua ujian khusus:
Nursing Care Japanese Language Evaluation Test (Kaigo Nihongo Kentei)
Nursing Care Skills Evaluation Test (Kaigo Ginou Kentei)
Kedua tes ini dikelola langsung oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang.
Selain menguji kosakata dan kemampuan membaca, ujian ini menilai pemahaman terhadap kebutuhan pasien, instruksi perawatan, dan pencatatan kegiatan harian.
Lulus kedua ujian ini menjadi syarat wajib untuk memperoleh visa Specified Skilled Worker (Caregiver), yang banyak diminati pekerja Indonesia sejak 2020.
Jepang memiliki berbagai jenis ujian bahasa Jepang karena setiap tes memiliki fungsi berbeda sesuai kebutuhan industri.
JLPT: mengukur kemampuan bahasa Jepang umum dan akademik.
JFT-Basic: menilai komunikasi praktis sehari-hari di tempat kerja.
NAT-TEST/TOP-J: alternatif fleksibel dengan format mirip JLPT.
Tes caregiver: penilaian khusus untuk tenaga perawatan.
Keberagaman ini bukan bentuk persaingan, melainkan saling melengkapi.
Pemerintah Jepang ingin memastikan kemampuan bahasa pekerja asing sesuai dengan kebutuhan sektor kerja masing-masing, demi efisiensi dan keselamatan kerja.
Bagi calon pekerja Indonesia, ujian bahasa Jepang bukan sekadar formalitas administratif.
Ujian ini menjadi jembatan untuk berkomunikasi, memahami budaya kerja, dan membuka jalan karier di Jepang.
Melalui beragam tes seperti JLPT, JFT-Basic, NAT-TEST, atau ujian caregiving, Jepang menunjukkan komitmen untuk menciptakan integrasi tenaga kerja asing yang lebih inklusif.
Sumber: