Awalnya terlihat aneh, tapi ternyata format ini memang bukan hal asing di Jepang.
Yang lebih mengejutkan lagi, penilaian bisa dimulai bahkan sebelum wawancara resmi berlangsung.
Saya pernah mendengar ada perusahaan yang menugaskan seseorang di ruang tunggu untuk berbincang santai dengan kandidat.
Ternyata, obrolan santai itu termasuk dalam evaluasi.
Dari hasil pencarian saya, pemerintah Jepang juga mengingatkan pencari kerja asing untuk selalu menjaga sikap profesional selama proses rekrutmen.
Alasannya, interaksi informal sekalipun bisa dianggap sebagai bagian dari penilaian.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa meskipun alur rekrutmen di Indonesia dan Jepang terlihat mirip, detailnya bisa sangat berbeda dan mengejutkan.
Beberapa hal penting yang saya pelajari antara lain:
Tes SPI jauh lebih sulit dibanding tes logika di Indonesia, sehingga persiapan sangat diperlukan.
Wawancara di Jepang bisa mencakup pertanyaan reflektif tentang kesadaran diri, bukan hanya soal keterampilan teknis.