“Kalau janji dengan supervisor jam 9, sebaiknya datang 10 menit lebih awal. Orang Jepang sangat menghargai ketepatan waktu,” ujar Dedy.
Ia juga mengingat masa enam bulan pertamanya di laboratorium, di mana rekan-rekan Jepangnya jarang mengajaknya bicara.
Ia menjelaskan bahwa periode tersebut sebenarnya merupakan masa penilaian, di mana rekan-rekan Jepang lebih dulu mengamati sikap dan konsistensi sebelum benar-benar terbuka dalam berinteraksi.
Dalam lingkungan akademik Jepang, attitude menjadi faktor penting.
Baik mahasiswa maupun peneliti dinilai dari ketekunan dan rasa tanggung jawabnya.
“Yang paling dinilai bukan kepintaran, tapi sikap. Kalau sudah dipercaya, hubungan kerja jadi lebih hangat,” kata Dedy.
Hal serupa juga terlihat di ruang kelas.
Budaya akademik Jepang cenderung tenang.
Mahasiswa jarang bertanya langsung di kelas karena menjaga kesopanan, dan lebih memilih berdiskusi pribadi dengan dosen setelah perkuliahan selesai.
Belajar di Jepang bukan sekadar menempuh pendidikan tinggi, tetapi juga latihan mental dan karakter.
Disiplin, kerja keras, dan rasa tanggung jawab menjadi nilai yang terus terbentuk selama tinggal di sana.
Dengan tekad, sikap positif, dan kemampuan beradaptasi, mahasiswa Indonesia memiliki peluang besar untuk sukses di dunia akademik Jepang.
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)