Keberadaannya menjadi bukti kesinambungan antara masa lalu dan masa kini dalam tradisi berpakaian Jepang.
Musim gugur di Jepang dikenal sebagai masa transisi dan perayaan. Beragam acara seperti festival panen, upacara kelulusan, perayaan kuil, hingga pertunjukan budaya berlangsung di seluruh negeri.
Dalam suasana seperti ini, hakama kimono sering terlihat, menambah kesan formal sekaligus simbolik bagi setiap acara.
Bagi para lulusan, mengenakan hakama di atas kimono saat upacara kelulusan musim gugur menjadi cara menghormati tradisi dan menampilkan rasa hormat serta kesungguhan.
Dalam upacara kuil atau festival, para pendeta, pelayan kuil, hingga penari tradisional seperti kenshibu (tarian puisi pedang) mengenakan kombinasi kimono dan hakama.
Paduan ini memunculkan kesinambungan sejarah, mengingatkan pada masa samurai, cendekiawan, dan pejabat istana yang pernah mengenakannya.
Beberapa jenis hakama memiliki tujuh lipatan dalam, dua di bagian belakang dan lima di bagian depan, yang diyakini melambangkan nilai moral seperti kesetiaan, keadilan, kesopanan, kebijaksanaan, dan ketulusan.
Makna simbolis itu memperlihatkan bagaimana rancangan busana dapat membawa pesan etika dan filosofi hidup masyarakat Jepang.
Perubahan musim memiliki pengaruh besar terhadap gaya berpakaian masyarakat Jepang, termasuk dalam pemilihan kimono dan hakama.
Pada musim gugur, motif seperti daun maple merah, ginkgo, dan bunga krisan sering muncul pada kain kimono. Corak tersebut mencerminkan semangat dan warna alam di bulan-bulan yang lebih sejuk.