OHAYOJEPANG - Saat warna merah dan emas daun musim gugur mulai memudar menjadi nuansa lembut akhir musim, Jepang di bulan November menghadirkan kesempatan untuk memahami lebih dalam kearifan lokal Jepang.
Bulan ini menjadi masa ketika masyarakat Jepang beralih dari hiruk-pikuk pesta musim gugur menuju kegiatan yang lebih tenang dan reflektif.
Suasana itu terasa dalam ruang tatami tempat upacara minum teh berlangsung, di bawah cabang pohon maple tempat seseorang menulis puisi pendek, atau di atas kertas putih tempat kuas kaligrafi menyapu tinta hitam dengan penuh kesadaran.
Kegiatan seperti ini bukan sekadar bentuk seni. Semua menjadi cerminan budaya Jepang dan tradisi Jepang yang berakar pada pandangan bahwa musim gugur adalah waktu untuk refleksi dan penyempurnaan diri.
Baca juga:

Tradisi teh Jepang, atau sadou/chadou (茶道), menempatkan perubahan musim sebagai bagian penting dalam setiap pertemuan.
Pada musim gugur, ruang upacara teh ditata secara halus agar selaras dengan suasana daun yang berguguran dan udara yang mulai sejuk.
Peralatan, gulungan kaligrafi, dan dekorasi bunga dipilih sesuai suasana bulan November.
Seorang tea master menyambut tamu dengan gerak tubuh yang mencerminkan adat Jepang, membungkuk, membersihkan tangan, lalu menyajikan matcha dalam mangkuk yang menggambarkan tekstur dan warna musim ini.
Bagi orang Jepang, teh pada musim gugur bukan hanya minuman. Upacara ini adalah ritual yang mencerminkan perubahan alam sekaligus mengajak hati menjadi tenang dan sadar akan waktu yang berlalu perlahan.

Daun merah keemasan di musim gugur telah lama menjadi inspirasi dalam seni kanshi dan waka, dua bentuk puisi klasik Jepang.