Ohayo Jepang
Powered by

Share this page

Worklife

Cerita dari LPK: Ditempa Seperti Hidup di Jepang, Calon Pemagang Indonesia Belajar Disiplin Tanpa Kata Menyerah

Kompas.com - 29/10/2025, 17:10 WIB

OHAYOJEPANG - Sebelum berangkat ke Jepang, para calon pemagang dari Indonesia lebih dulu melewati proses panjang di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).

Di tempat inilah disiplin, tanggung jawab, dan mental kerja ditempa melalui sistem pembelajaran yang dirancang menyerupai kehidupan di negeri sakura. 

LPK menjadi tempat untuk membentuk karakter dan etos kerja peserta agar siap menghadapi dunia profesional di Jepang.

Menurut pengajar atau sensei di kelas pemantapan LPK Fujisan, Taufik Rahman, sekitar 70 persen peserta sudah memiliki gambaran jelas tentang pelatihan sejak awal. 

Semangat mereka meningkat saat memasuki kelas pemantapan karena sebagian sudah mendapat penempatan di perusahaan Jepang. 

“Kalau di kelas pemantapan, semangat peserta sudah mencapai 70 sampai 100 persen karena mereka hanya menunggu waktu keberangkatan,” kata Taufik saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang di LPK Fujisan, Kebon Jeruk, Jakarta pada Senin (13/10/2025).

Namun, semangat tinggi itu tidak datang begitu saja. 

Proses adaptasi di awal masa pelatihan kerap menjadi tantangan tersendiri bagi peserta baru.

Hal serupa terlihat di LPK Hiro Karanganyar. 

Direktur LPK Hiro Karanganyar, Bowo Kristianto menjelaskan bahwa sistem pelatihan di tempatnya berjalan ketat dan terstruktur. 

Setiap peserta yang lolos seleksi wajib menjalani masa pelatihan selama enam bulan. 

Pelatihan tersebut mencakup penguasaan bahasa Jepang dan pembentukan etos kerja. 

“Seleksi awal dilakukan dengan sangat ketat, disusul evaluasi lanjutan untuk menilai kelayakan peserta, dan mereka yang tidak memenuhi standar akan dikeluarkan,” ujar Bowo saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang melalui WhatsApp pada Senin (20/10/2025).

Baca Juga: 

Kehidupan di Asrama

Kehidupan peserta di asrama menjadi bagian penting dari pelatihan. 

Di LPK Fujisan, suasana dan aturan dibuat menyerupai kehidupan di Jepang. 

Peserta diajarkan hidup teratur, menjaga kebersihan, dan menghormati waktu. 

“Kami meniru budaya itu di asrama sebagai miniatur Jepang agar mereka siap secara mental dan perilaku,” ucap Taufik. 

Prinsip ketepatan waktu menjadi hal yang tidak bisa ditawar. 

“Di Jepang, terlambat satu atau dua menit saja sudah dianggap fatal, jadi kami membiasakan peserta untuk selalu tepat waktu sejak di LPK,” tambah pengajar lain LPK Fujisan, Muhammad Nabil Raihan saat diwawancarai oleh Ohayo Jepang di LPK Fujisan, Kebon Jeruk, Jakarta pada Senin (13/10/2025).

Hal yang sama juga diterapkan di LPK Hiro Karanganyar.

Setelah melewati tahap awal, peserta mulai belajar bahasa dan budaya kerja Jepang dengan target kemampuan minimal setara level N5.

 “Standar kami tinggi, walaupun sudah diterima perusahaan, kalau belum lulus N5, tidak bisa berangkat,” tegas Bowo.

Dari Bahasa ke Mentalitas Kerja

Pelatihan di kedua lembaga ini tidak hanya berfokus pada kemampuan akademis, tetapi juga pada pembentukan mental dan karakter kerja. 

Menurut Nabil, tantangan terbesar bukan pada teori bahasa, melainkan keberanian menghadapi kehidupan di Jepang. 

Ia sering mendorong peserta untuk berani berbicara dan belajar dari kesalahan. 

“Secara teori mereka paham, tapi saat praktik sering gugup, jadi kami tekankan bahwa salah itu tidak apa-apa, yang penting mereka berani berbicara,” ujar Nabil.

Bowo juga menilai pembentukan karakter adalah kunci utama keberhasilan program magang. 

“Masalahnya bukan di kemampuan teknis atau bahasa, tapi di kebiasaan anak-anak yang masih terbawa budaya Indonesia, sehingga perlu dibiasakan dulu dengan disiplin dan cara kerja Jepang,” ujar Bowo.

Karena itu, pelatihan tidak hanya menghasilkan peserta yang siap kerja, tetapi juga pribadi yang mandiri dan tahan uji.

Menatap Masa Depan Profesional

Keberhasilan peserta tidak diukur hanya dari pencapaian selama bekerja di Jepang. 

Taufik mengatakan bahwa kebanggaan sesungguhnya muncul ketika para peserta pulang ke Indonesia dan mampu menerapkan hasil pengalaman magangnya.

“Jepang itu hanya batu loncatan, saya bangga kalau mereka bisa memanfaatkan hasil magangnya untuk mewujudkan cita-cita seperti membuka usaha atau membangun kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Nabil pun memiliki pandangan serupa. 

Ia menilai bahwa magang bukan sekadar kesempatan bekerja di luar negeri, melainkan proses pembentukan diri untuk menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh. 

Banyak peserta yang kembali dengan kemampuan baru, tabungan, serta rencana hidup yang lebih matang.

“Saya bangga kalau melihat mantan peserta sudah punya usaha sendiri atau membangun rumah, karena itu berarti tujuan mereka tercapai,” tambah Nabil.

Sedangkan bagi Bowo, pelatihan menjadi bentuk pengembangan kualitas agar peserta tidak hanya berorientasi pada magang, tetapi juga karir jangka panjang di dunia internasional.

Melalui sistem pelatihan yang disiplin, evaluasi ketat, dan pendampingan intensif, LPK menjadi ruang pembentukan karakter bagi generasi muda Indonesia. 

Dari ruang kelas hingga asrama, para peserta ditempa untuk memahami arti tanggung jawab dan kerja keras dua hal yang menjadi kunci agar mereka dapat berdiri sejajar di dunia kerja Jepang.

(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)

Halaman:
Editor : YUHARRANI AISYAH

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
 
Pilihan Untukmu
Close Ads

Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.