Setelah melewati tahap awal, peserta mulai belajar bahasa dan budaya kerja Jepang dengan target kemampuan minimal setara level N5.
“Standar kami tinggi, walaupun sudah diterima perusahaan, kalau belum lulus N5, tidak bisa berangkat,” tegas Bowo.
Pelatihan di kedua lembaga ini tidak hanya berfokus pada kemampuan akademis, tetapi juga pada pembentukan mental dan karakter kerja.
Menurut Nabil, tantangan terbesar bukan pada teori bahasa, melainkan keberanian menghadapi kehidupan di Jepang.
Ia sering mendorong peserta untuk berani berbicara dan belajar dari kesalahan.
“Secara teori mereka paham, tapi saat praktik sering gugup, jadi kami tekankan bahwa salah itu tidak apa-apa, yang penting mereka berani berbicara,” ujar Nabil.
Bowo juga menilai pembentukan karakter adalah kunci utama keberhasilan program magang.
“Masalahnya bukan di kemampuan teknis atau bahasa, tapi di kebiasaan anak-anak yang masih terbawa budaya Indonesia, sehingga perlu dibiasakan dulu dengan disiplin dan cara kerja Jepang,” ujar Bowo.
Karena itu, pelatihan tidak hanya menghasilkan peserta yang siap kerja, tetapi juga pribadi yang mandiri dan tahan uji.
Keberhasilan peserta tidak diukur hanya dari pencapaian selama bekerja di Jepang.