“Selama ini kita yang mengelilingi satwa liar. Tapi saya khawatir nanti giliran kita yang akan dikepung,” kata Suzuko Tsunoda (39), pemburu termuda dari sekitar 35 anggota asosiasi pemburu di Yamanashi.
Ia mengaku belajar berburu dari seniornya.
Ia menekankan bahwa keahlian memahami medan pegunungan dan perilaku hewan butuh waktu lama untuk dikuasai.
“Saya khawatir para pemburu senior akan habis dalam lima tahun ke depan,” ujarnya.
Suzuki yang sudah berpengalaman selama hampir 40 tahun menegaskan bahwa menembak beruang bukan sekadar menarik pelatuk.
Pasalnya, proses mengangkut dan menangani bangkai hewan memerlukan keahlian dan kerja sama tim.
Beberapa ahli memperingatkan bahwa pelonggaran aturan ini bisa meningkatkan risiko keselamatan publik, terutama di area permukiman padat di mana peluru nyasar bisa berakibat fatal.
Menurut profesor Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo sekaligus ketua Japan Bear Network Shinsuke Koike, Jepang seharusnya tidak hanya fokus pada penembakan di lokasi kejadian.
Menurutnya, perlu ada pendekatan ilmiah dan edukasi publik, termasuk analisis pergerakan beruang, pelatihan staf, dan sistem pengelolaan satwa liar di tingkat lokal.
“Selalu ada faktor yang menyebabkan beruang muncul di area perkotaan. Jika kita tidak belajar dari kasus sebelumnya, kejadian serupa akan terus berulang,” ujarnya.
© Kyodo News