Dari istana bangsawan, tradisi ini kemudian menyebar ke masyarakat umum dan menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari.
Di jantung tradisi Otsukimi terdapat makna penghormatan terhadap alam dan hasil bumi.
Masyarakat menyiapkan altar kecil yang menghadap ke langit timur, baik di balkon rumah, halaman kuil, maupun di tepi jendela.
Altar tersebut dihiasi dengan tsukimi dango, yaitu kue bulat dari tepung beras yang melambangkan bulan purnama.
Ada pula susuki, rumput alang-alang Jepang yang melambangkan batang padi dan dipercaya mampu mengusir roh jahat.
Beberapa wilayah juga menambahkan hasil bumi seperti talas dan kastanye sebagai bentuk rasa syukur atas panen awal musim gugur.
Bagi anak-anak, bagian paling menarik adalah kisah kelinci bulan.
Alih-alih melihat sosok manusia di bulan, masyarakat Jepang melihat bayangan kelinci yang sedang menumbuk mochi, kisah yang berasal dari legenda Buddhis tentang pengorbanan dan ketulusan.
Meskipun kehidupan modern di Jepang serba cepat dan digital, Otsukimi masih memiliki tempat khusus dalam kalender budaya.
Di kota-kota besar seperti Tokyo dan Kyoto, beberapa kuil dan taman mengadakan acara malam khusus dengan lentera, musik tradisional, dan hidangan bertema bulan.