OHAYOJEPANG - Onomatope dalam komik Jepang atau giongo dan gitaigo adalah elemen yang membuat manga terasa hidup.
Bukan sekadar efek suara, kata-kata ini berfungsi sebagai isyarat visual untuk menggambarkan gerakan, suasana, hingga emosi karakter.
Setiap “Don!” atau “Baan!” membawa dampak langsung ke pembaca, menciptakan sensasi seolah ikut berada di dalam adegan.
Bagi banyak pembaca manga, inilah alasan mengapa onomatope terasa begitu khas dan kuat.
Linguistik juga menjelaskan bahwa penggunaan onomatope dalam manga memberi efek emosional instan.
Pembaca tak hanya membaca gambar dan teks, tetapi juga “merasakan” suara, ritme, dan intensitas cerita.
Baca juga:
Beberapa onomatope dalam manga menjadi ikon tersendiri karena sering muncul di berbagai adegan.
Misalnya, ドン! (don!) yang menggambarkan suara benturan keras seperti pintu yang tertutup tiba-tiba.
Contohnya: ドン!とドアが閉まった (Don! to doa ga shimatta) — “Pintu tertutup dengan suara don!”.
Lalu ada バーン! (baan!) yang menunjukkan suara ledakan atau momen dramatis, seperti kembang api yang meledak.
Sementara ガーン… (gān) digunakan untuk menunjukkan rasa terkejut atau kecewa, misalnya saat melihat nilai ujian yang buruk.
Ada juga ゴゴゴ… (gogogo) yang sering dipakai untuk menggambarkan suasana tegang atau getaran tanah.
Bentuk lainnya seperti バサッ (basa’) untuk suara kertas jatuh, ザッ (za’) untuk langkah tegas, ガタッ (gata’) untuk bunyi gesekan kursi, dan バキッ (baki’) untuk suara benda patah.
Kata-kata ini mungkin tampak sederhana, tetapi perannya sangat besar dalam memperkuat pengalaman membaca manga.
Onomatope Jepang bekerja efektif karena mengikuti pola bunyi yang khas.
Beberapa di antaranya berbentuk pengulangan seperti pika-pika (berkilau) atau doki-doki (detak jantung).
Ada juga bentuk yang diakhiri konsonan hentian seperti don (ドン) atau sa (サッ) untuk memberi kesan kuat dan cepat.
Pola bunyi semacam ini membuat kata lebih mudah dibaca dan diingat.
Selain itu, tulisan dalam katakana cenderung terlihat “keras” dan cocok untuk adegan penuh aksi, sedangkan hiragana memberi nuansa lembut.
Jadi, ketika melihat tulisan besar ゴゴゴ… di panel manga, pembaca bisa langsung menangkap rasa tegang yang sedang dibangun.
Tanpa perlu penjelasan panjang, bunyi itu sudah “berbicara” sendiri.
Membaca onomatope bukan hanya soal menghafal arti kata, tetapi memahami ritme visualnya.
Pertama, perhatikan bentuk hurufnya, katakana biasanya menandakan suara yang keras atau tajam.
Kedua, sesuaikan dengan adegan, apakah menggambarkan berat, kecepatan, kejut, atau ketegangan.
Ketiga, coba ucapkan pelan dalam hati, karena mengucapkannya membantu memahami emosi di balik bunyi tersebut.
Dengan latihan, pembaca akan mulai “merasakan” panel manga tanpa harus menerjemahkan setiap kata.
Inilah keindahan onomatope dalam komik Jepang, ia membuat pembaca lebih dekat dengan cerita, seolah ikut hidup di dalamnya.
pada akhirnya, pemahaman ini juga membuka cara baru untuk menikmati bahasa Jepang di luar komik, dalam iklan, permainan, bahkan percakapan sehari-hari.