OHAYOJEPANG - Budaya kerja Jepang sering kali memberi kejutan sejak hari pertama. Rapat dimulai tepat waktu, kereta datang sesuai menit.
Bagi banyak orang Indonesia, ritme ini terasa berbeda karena proses, alur laporan, dan etika kerja memiliki bobot yang sama pentingnya dengan hasil.
Memahami budaya kerja Jepang sejak awal bisa mengurangi kebingungan di kemudian hari.
Mulai dari aturan lembur dalam undang-undang, alasan pengambilan keputusan yang memakan waktu, hingga cara rekan kerja menunggu laporan dan persetujuan.
Simak budaya dan aturan kerja di Jepang selengkapnya.
Baca juga:
Dasar hukum: Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan Jepang (労働基準法) menetapkan jam kerja 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.
Lembur (“Perjanjian 36”): Jam kerja tambahan atau kerja di hari libur hanya sah jika ada perjanjian kerja-buruh (労使協定) sesuai Pasal 36 yang diajukan ke kantor pengawas ketenagakerjaan setempat. Tanpa ini, lembur tidak bisa diwajibkan.
Batas reformasi kerja: Sejak 2019, lembur memiliki batas ketat—umumnya maksimal 45 jam per bulan dan 360 jam per tahun. Dengan klausul khusus, lembur tidak boleh lebih dari 100 jam dalam satu bulan (termasuk hari libur), rata-rata 2–6 bulan ≤80 jam, dan total tahunan maksimal 720 jam.
Cuti wajib: Pekerja dengan hak cuti minimal 10 hari harus dipastikan mengambil sedikitnya 5 hari setiap tahun.
Pemakaian cuti: Berdasarkan Survei Kondisi Kerja Umum 2022 (MHLW, rilis Okt 2023), rata-rata karyawan mendapat 17,6 hari cuti dan memakai 10,9 hari, atau 62,1 persen.
Update terbaru: Untuk 2023, tingkat pemakaian naik menjadi 65,3 persen (rilis Des 2024).
Pencegahan karoshi (過労死): Pemerintah menerbitkan Laporan Putih soal kerja berlebihan setiap tahun dan mengadakan kampanye nasional setiap November.
Pencegahan pelecehan: Sejak Juni 2020, perusahaan besar wajib memiliki langkah pencegahan pelecehan di tempat kerja (パワハラ). Kewajiban ini diperluas ke UKM pada April 2022.
Hō-Ren-Sō (報・連・相): Hōkoku (melapor), Renraku (mengabari), Sōdan (berkonsultasi). Update singkat dan sering diharapkan, bahkan sebelum masalah menjadi serius.
Pengambilan keputusan: Usulan biasanya dibicarakan secara informal dulu (根回し nemawashi), lalu diedarkan lewat sistem ringi untuk mendapat cap/persetujuan. Proses ini terasa lambat, tapi menjamin konsensus.
Bahasa: Email dan panggilan telepon sering menggunakan keigo (敬語, bahasa hormat). Bahkan dalam tim bilingual, bentuk sopan tetap penting saat berurusan dengan klien atau atasan. Ungkapan seperti “mungkin sulit” sering berarti “tidak bisa.”
Telework: Adopsi meningkat saat pandemi, tapi stabil di sekitar 19 persen pekerja (Survei Struktur Ketenagakerjaan 2022). Angka berbeda-beda tergantung industri.
Digitalisasi: Badan Digital Jepang mendorong prinsip “digital-by-default” dengan target layanan administrasi online penuh pada tahun fiskal 2025. Namun, penerapannya bertahap dan berbeda antar kementerian.
Dokumen: Banyak perusahaan sudah memakai sistem persetujuan digital, tapi alur tetap meniru jalur stempel (hanko) lama.
Karyawan reguler vs non-reguler: Jepang membedakan seishain (karyawan tetap) dengan non-reguler (paruh waktu, kontrak, outsourcing). Fasilitas, promosi, dan pelatihan berbeda sesuai status.
Pekerjaan seumur hidup: Riset JILPT menunjukkan masa kerja panjang masih umum bagi seishain, meski ketergantungan pada sistem kerja seumur hidup semakin berkurang.
Cool Biz: Sejak 2005, kampanye COOL BIZ dari Kementerian Lingkungan memperbolehkan pakaian lebih ringan di musim panas. Jas dan dasi jarang dipakai pada Juli-Agustus, meski sebagian klien tetap mengharapkan formalitas.
Etika sosial: Rapat dibuka dan ditutup dengan frasa ritual. Membawa omiyage (oleh-oleh makanan khas daerah) setelah bepergian sudah menjadi kebiasaan.
Inti dari budaya kerja Jepang bukanlah kerja tanpa henti, melainkan sistem yang menghargai keteraturan, tanggung jawab bersama, dan alur kerja tim.
Bagi orang Indonesia, kuncinya adalah beralih dari pola pikir hasil ke hasil dengan proses.
Caranya dengan datang lebih awal, melapor proaktif, peka membaca sinyal halus, dan mengikuti ritme persetujuan.
Kalau sudah terbiasa, struktur ini bukan lagi terasa seperti beban, melainkan penopang yang dapat membantu tim beragam bekerja konsisten menghasilkan pekerjaan berkualitas tinggi bersama.
Sumber:
@ohayo_jepang Kenapa Karyawan di Jepang Selalu Rajin Bersihkan Meja Kerja? Ada satu kebiasaan unik yang sering kita lihat di kantor-kantor Jepang: para karyawannya selalu membersihkan meja kerja sebelum pulang. Ini bukan cuma soal rapi-rapi, tapi didasari oleh filosofi penting yang disebut Omoiyari. Omoiyari adalah konsep Jepang untuk memikirkan dan menghargai perasaan orang lain. Dengan merapikan meja, mereka ingin menunjukkan rasa hormat kepada orang yang akan memakai meja itu esok hari atau rekan kerja yang masih ada di kantor. Kecil, tapi maknanya dalam banget! Ini jadi salah satu alasan kenapa budaya kerja di Jepang dikenal sangat teratur. Gimana menurut kalian? Tertarik nggak menerapkan Omoiyari di tempat kerja? Kreator Konten: Salma Aichi K Produser: Siti Annisa Penulis: YUHARRANI AISYAH #Omoiyari #Jepang #BudayaKerja #FilosofiJepang #Kantor ♬ suara asli - Ohayo Jepang