OHAYOJEPANG - Budaya kerja Jepang sering kali memberi kejutan sejak hari pertama. Rapat dimulai tepat waktu, kereta datang sesuai menit.
Bagi banyak orang Indonesia, ritme ini terasa berbeda karena proses, alur laporan, dan etika kerja memiliki bobot yang sama pentingnya dengan hasil.
Memahami budaya kerja Jepang sejak awal bisa mengurangi kebingungan di kemudian hari.
Mulai dari aturan lembur dalam undang-undang, alasan pengambilan keputusan yang memakan waktu, hingga cara rekan kerja menunggu laporan dan persetujuan.
Simak budaya dan aturan kerja di Jepang selengkapnya.
Baca juga:
Dasar hukum: Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan Jepang (労働基準法) menetapkan jam kerja 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.
Lembur (“Perjanjian 36”): Jam kerja tambahan atau kerja di hari libur hanya sah jika ada perjanjian kerja-buruh (労使協定) sesuai Pasal 36 yang diajukan ke kantor pengawas ketenagakerjaan setempat. Tanpa ini, lembur tidak bisa diwajibkan.
Batas reformasi kerja: Sejak 2019, lembur memiliki batas ketat—umumnya maksimal 45 jam per bulan dan 360 jam per tahun. Dengan klausul khusus, lembur tidak boleh lebih dari 100 jam dalam satu bulan (termasuk hari libur), rata-rata 2–6 bulan ≤80 jam, dan total tahunan maksimal 720 jam.
Cuti wajib: Pekerja dengan hak cuti minimal 10 hari harus dipastikan mengambil sedikitnya 5 hari setiap tahun.
Pemakaian cuti: Berdasarkan Survei Kondisi Kerja Umum 2022 (MHLW, rilis Okt 2023), rata-rata karyawan mendapat 17,6 hari cuti dan memakai 10,9 hari, atau 62,1 persen.