Setelah bom dijatuhkan, ia ditugaskan ke pos-pos bantuan sementara, di mana ia menyaksikan kematian demi kematian dalam kondisi menyedihkan.
“Saya mengimbau dunia untuk memastikan penderitaan akibat bom atom tidak pernah terulang,” tulisnya dalam kesaksian pribadi.
Michiko Suzuki, peneliti di Universitas Tokyo yang fokus pada aktivitas Palang Merah Jepang di masa pra-perang dan awal pascaperang, mengatakan terharu melihat film ini menyoroti pekerjaan kemanusiaan yang sering “tidak terlihat”.
Menurutnya, sorotan biasanya tertuju pada tentara dan korban sipil, sedangkan perawat Palang Merah bekerja di balik layar demi profesionalisme.
Dari penelitiannya, Suzuki menemukan bahwa Palang Merah Jepang berulang kali berusaha memberikan bantuan kemanusiaan di kamp tawanan perang Sekutu di Nagasaki sebelum pengeboman.
Mereka merawat korban tanpa membedakan kawan atau lawan.
Bantuan Palang Merah tidak berhenti setelah perang berakhir.
Rumah sakit yang mereka dirikan untuk penyintas bom atom di Hiroshima (1956) dan Nagasaki (1958) telah menangani 7,9 juta pasien rawat jalan dan 6,3 juta pasien rawat inap hingga tahun fiskal 2024.
Film ini juga menyoroti sejarah panjang Kekristenan di Nagasaki, serta latar belakang Katolik Matsumoto.
Salah satu karakter utama, Misao, digambarkan rela berkorban demi membantu orang lain.