OHAYOJEPANG - Sorak penonton di Tokyo Dome akhir pekan lalu terasa seperti gema masa lalu sekaligus suara masa kini.
Band legendaris asal Inggris, Oasis, tampil di Jepang untuk pertama kalinya dalam 16 tahun, menghadirkan euforia yang menyatukan dua generasi penggemar.
Dari 50.000 penonton yang memenuhi arena, ribuan di antaranya bukanlah saksi era kejayaan Britpop 1990-an, melainkan generasi muda yang mengenal Oasis lewat layanan streaming musik seperti Spotify.
Konser pada 25 Oktober yang tiketnya terjual habis itu menjadi simbol pertemuan antara mereka yang dulu membeli album Oasis dalam bentuk CD dan mereka yang kini mendengarkan lagu-lagunya secara digital.
Melansir Kyodo News (1/11/2025), momen ini juga menunjukkan bagaimana musik lintas dekade kini berputar bebas di dunia digital tanpa batas waktu.
Baca juga:
Bagi banyak penonton muda, kehadiran Oasis di panggung adalah pengalaman pertama yang terasa bersejarah.
“Saya mengenal Oasis dari band Jepang [Alexandros] yang saya sukai. Saya pikir ini mungkin kesempatan pertama dan terakhir untuk melihat mereka,” kata seorang pegawai toko pakaian berusia 23 tahun asal Prefektur Chiba dengan penuh semangat.
Begitu Noel dan Liam Gallagher muncul di atas panggung sambil mengangkat tangan, seluruh Dome bergemuruh.
Dua kakak-beradik asal Manchester yang terkenal dengan rivalitas mereka itu kembali berdiri berdampingan, seolah membuka babak baru dalam kisah panjang band tersebut.
Aura khas Oasis masih terasa kuat. Liam berdiri tegak dengan tangan di belakang punggung, menatap penonton tajam sambil membawakan lagu-lagu klasik seperti Some Might Say dan Wonderwall.
Penonton dari berbagai usia ikut bernyanyi, menciptakan suasana yang akrab dan penuh nostalgia.
“Dulu mereka terlihat begitu keren tanpa usaha, sambil merokok dan minum di atas panggung. Persaingan mereka sebagai saudara juga membuatnya menarik,” ujar Miho Hayashi (48), karyawan perusahaan asal Toyama yang menjadi penggemar Oasis sejak SMA
Hayashi datang bersama putrinya yang masih remaja, yang telah tumbuh besar mendengarkan lagu-lagu Oasis “seperti lagu nina bobo.”
Euforia konser tidak hanya terjadi di dalam arena.
Beberapa hari sebelum pertunjukan, Miyashita Park di Shibuya diubah menjadi pusat perayaan Oasis.
Area itu dipenuhi layar digital raksasa yang menayangkan video musik serta toko pop-up yang menjual kaus, poster, dan merchandise edisi khusus Jepang seperti cangkir teh.
“Reuni ini terasa seperti festival,” ujar seorang perempuan berusia 30-an yang mengaku menghabiskan lebih dari 20.000 yen atau sekitar Rp 2 juta untuk membeli berbagai barang bertema Gallagher.
Menurut Kumiko Muto dari Sony Music Entertainment, antusiasme penggemar menunjukkan kebutuhan akan koneksi nyata di era digital.
“Penggemar ingin memiliki sesuatu yang bisa mereka sentuh. Mereka mengumpulkan barang sebagai bagian dari kegiatan fandom mereka. Dalam hal ini, penggemar Oasis saat ini tidak jauh berbeda dengan penggemar idola pop,” jelasnya.
Kegiatan ini memperlihatkan bagaimana Oasis bukan sekadar nama besar masa lalu, melainkan juga fenomena yang dihidupkan kembali oleh semangat komunitas lintas generasi.
Data terbaru menunjukkan kebangkitan besar minat terhadap musik Oasis setelah pengumuman reuni mereka pada Agustus lalu.
Menurut perusahaan riset Amerika, Luminate, jumlah streaming lagu-lagu Oasis mencapai sekitar 120 juta kali dalam sepekan, lebih dari tiga kali lipat dibanding minggu sebelumnya.
Ketika tur reuni dimulai pada Juli, pemutaran mingguan kembali menembus 100 juta kali.
Lonjakan ini mencerminkan perubahan besar dalam cara orang mendengarkan musik.
Di era streaming, musik lama atau catalog music kini mendominasi pasar global, dengan porsi mencapai lebih dari 70 persen dari total pemutaran.
Batas antara generasi musik pun menjadi kabur.
Lagu-lagu dari tahun 1990-an kini muncul berdampingan dengan hit terbaru di playlist digital, seolah waktu tak lagi menjadi pembatas.
Ketika nada terakhir lagu Stand by Me bergema di Tokyo Dome, Liam Gallagher menutup dengan lirik, “Nyanyikan sesuatu yang baru untukku.”
Namun bagi 50.000 penonton yang hadir malam itu, hal baru tidak selalu berarti sesuatu yang belum pernah ada.
Dalam dunia musik tanpa batas waktu, kembalinya Oasis menjadi bukti bahwa Britpop masih mampu terdengar segar di telinga generasi masa kini.
© Kyodo News