Penonton dari berbagai usia ikut bernyanyi, menciptakan suasana yang akrab dan penuh nostalgia.
“Dulu mereka terlihat begitu keren tanpa usaha, sambil merokok dan minum di atas panggung. Persaingan mereka sebagai saudara juga membuatnya menarik,” ujar Miho Hayashi (48), karyawan perusahaan asal Toyama yang menjadi penggemar Oasis sejak SMA
Hayashi datang bersama putrinya yang masih remaja, yang telah tumbuh besar mendengarkan lagu-lagu Oasis “seperti lagu nina bobo.”
Euforia konser tidak hanya terjadi di dalam arena.
Beberapa hari sebelum pertunjukan, Miyashita Park di Shibuya diubah menjadi pusat perayaan Oasis.
Area itu dipenuhi layar digital raksasa yang menayangkan video musik serta toko pop-up yang menjual kaus, poster, dan merchandise edisi khusus Jepang seperti cangkir teh.
“Reuni ini terasa seperti festival,” ujar seorang perempuan berusia 30-an yang mengaku menghabiskan lebih dari 20.000 yen atau sekitar Rp 2 juta untuk membeli berbagai barang bertema Gallagher.
Menurut Kumiko Muto dari Sony Music Entertainment, antusiasme penggemar menunjukkan kebutuhan akan koneksi nyata di era digital.
“Penggemar ingin memiliki sesuatu yang bisa mereka sentuh. Mereka mengumpulkan barang sebagai bagian dari kegiatan fandom mereka. Dalam hal ini, penggemar Oasis saat ini tidak jauh berbeda dengan penggemar idola pop,” jelasnya.
Kegiatan ini memperlihatkan bagaimana Oasis bukan sekadar nama besar masa lalu, melainkan juga fenomena yang dihidupkan kembali oleh semangat komunitas lintas generasi.