OHAYOJEPANG - Saat udara mulai sejuk dan dedaunan berubah menjadi merah di Jepang, ada satu suara lembut yang mengalun di jalan-jalan sepi: panggilan khas penjual yaki-imo.
Seruan berirama “yaki-imo, yaki-imo” menandai datangnya musim gugur, sementara aroma ubi panggang menyebar di udara dingin malam.
Suara itu bukan sekadar ajakan membeli, melainkan penanda musim yang akrab di hati banyak orang Jepang.
Wangi ubi panggang yang manis berpadu dengan kesejukan udara menjadikan yaki-imo sebagai simbol kenyamanan sederhana di musim gugur.
Truk penjual yaki-imo yang menyusuri lingkungan perumahan dianggap sebagai bagian penting dari budaya musiman Jepang.
Mereka menyatukan rasa, kenangan, dan waktu dalam satu pengalaman hangat.
Baca juga:
Yaki-imo berarti “ubi panggang” dan dibuat dengan memanggang ubi utuh beserta kulitnya hingga menjadi lembut dan karamelisasi.
Proses pemanggangan yang lambat membuat gula alami dalam ubi keluar, menghasilkan rasa manis alami dan tekstur lembut yang menenangkan.
Dahulu, ubi ini dipanggang di atas batu kerikil panas atau arang dalam oven kecil di atas truk yang berkeliling kampung sambil memanggil pembeli.
Metode tersebut membuat panas merata, menghasilkan bagian dalam yang berwarna keemasan dan manis mendalam.
Batu kerikil yang dipanaskan di bak truk memberikan panas radiasi perlahan, menciptakan rasa khas yang tak tergantikan oleh oven modern.
Lebih dari sekadar jajanan jalanan, yaki-imo menjadi bagian dari ritual musim gugur.
Banyak orang menikmati ubi panggang ini sambil berjalan di bawah daun merah atau setelah berjalan sore di udara sejuk.
Kehadirannya tidak mencolok seperti makanan modern, tetapi justru memikat karena kesederhanaannya, menghadirkan kehangatan di tangan dan cita rasa musim di lidah.
Di antara berbagai jenis ubi di Jepang, varietas berkulit ungu menempati tempat istimewa.
Ubi ungu Jepang mulai dibudidayakan sejak tahun 1980-an, terutama di wilayah Kagoshima dan Kyushu yang dikenal sebagai sentra pertanian.
Ubi jenis ini memiliki warna daging atau kulit yang mencolok dan digunakan dalam banyak bentuk, mulai dari dikukus, dipanggang, ditumbuk, hingga dijadikan bahan manisan.
Salah satu varietas terkenal adalah beni-imo dari Okinawa yang kerap disalahartikan sebagai “yam,” padahal secara botani termasuk jenis ubi jalar.
Warna ungu cerah dan tekstur padat beni-imo menjadikannya bahan populer untuk olahan tradisional maupun modern, meskipun rasanya sedikit kurang manis dibanding ubi kuning.
Selain keindahan warnanya, ubi ungu juga menjadi bagian penting dalam sejarah pertanian Jepang.
Ubi jalar dikenal tahan terhadap tanah miskin dan bernutrisi tinggi sehingga pernah menjadi bahan pangan utama di berbagai prefektur pada masa sulit.
Panggilan yaki-imo di musim gugur bukan sekadar urusan jual beli.
Ia adalah tanda pergantian musim, waktu panen, dan pengingat akan kehangatan sederhana di tengah udara dingin.
Setiap kali truk yaki-imo muncul di sudut jalan, aroma ubinya membawa kenangan masa kecil, sore minggu di lingkungan rumah, dan rasa damai di bawah langit musim gugur.
Kehadiran ubi ungu Jepang memperkaya pengalaman ini dengan warna yang menenangkan, tekstur lebih padat, dan rasa manis yang lembut.
Dari proses memanggang, mengukus, hingga diolah menjadi manisan, ubi Jepang mencerminkan hubungan erat antara alam, musim, dan manusia.
Rasa yang muncul bukan hanya dari bahan, tetapi dari waktu yang melekat di dalamnya, menghadirkan kehangatan yang tumbuh bersama setiap musim gugur datang kembali.
Yaki-imo bukan sekadar makanan, melainkan simbol bagaimana rasa, aroma, dan kenangan bisa menjahit manusia dengan alam sekitarnya.
Sumber: