OHAYOJEPANG - Ketika pertama kali belajar bahasa Jepang di Indonesia, saya merasa sudah memahami dasarnya dengan cukup baik.
Saya belajar secara otodidak dan juga mengikuti kelas tambahan yang diadakan oleh perusahaan.
Saya menghafal huruf hiragana, katakana, dan beberapa kanji, mempelajari tata bahasa, serta bisa melakukan percakapan singkat.
Namun, ada satu hal yang sama sekali saya lewatkan yaitu pitch accent dan intonasi bahasa Jepang.
Awalnya saya tidak menganggap hal itu penting.
Saya tahu bahwa nada berperan besar dalam bahasa Mandarin, tetapi saya berasumsi bahasa Jepang tidak seperti itu.
Buku dan materi daring yang saya pelajari juga tidak pernah menyebut soal pitch accent.
Saya berpikir, “Selama saya mengucapkan kata dengan benar, orang Jepang pasti mengerti.”
Itu ternyata menjadi kesalahan besar yang baru saya sadari setelah tiba di Jepang.
Baca juga:
Setibanya di Jepang, perusahaan mengikutsertakan kami dalam program sekolah bahasa Jepang untuk membantu proses adaptasi.
Salah satu pelajarannya adalah latihan pengucapan dan intonasi.
Guru kami akan mengucapkan kata dalam pola nada yang benar, lalu kami diminta menirukannya.
Bagi orang Indonesia, pengucapan bahasa Jepang sebenarnya tidak sulit karena banyak bunyinya mirip dengan bahasa Indonesia.
Namun, perubahan nada naik turun dalam satu kata terasa aneh dan asing bagi saya.
Saya sempat berpikir, “Apakah ini benar-benar penting? Orang Jepang pasti tetap paham maksud saya.”
Saya tidak terlalu memerhatikannya, sampai satu kejadian membuat saya berubah pikiran.
Suatu hari, teman saya bercerita tentang contoh lucu dari gurunya: perbedaan antara 雨 (ame→) yang berarti “hujan” dan 飴 (a↘me) yang berarti “permen.”
Kami tertawa, berpikir bahwa orang Jepang pasti bisa menebak makna dari konteks kalimat.
Namun beberapa hari kemudian, dalam presentasi kelas, saya mengalami hal serupa.
Saya ingin mengatakan 意外 (igai→), yang berarti “tidak terduga,” tetapi guru saya tampak bingung karena mendengar 以外 (i↘gai), yang berarti “kecuali.”
Beliau lalu menjelaskan bahwa perbedaan nada dalam bahasa Jepang bisa mengubah arti kata secara total.
Sejak saat itu, saya mulai memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
Saya sadar bahwa intonasi bukan sekadar detail kecil, tetapi bagian dari bagaimana penutur asli memahami makna ucapan.
Setelah kejadian itu, saya mulai mendengarkan bahasa Jepang dengan lebih teliti.
Saya memperhatikan cara orang berbicara di televisi, video YouTube, dan percakapan di toko.
Saya mulai mengenali bagaimana penutur asli mengubah tinggi rendah nada saat mengucapkan kata tertentu.
Saya juga menemukan bahwa Laboratorium Minematsu dan Laboratorium Saito di Universitas Tokyo mengembangkan kamus daring khusus untuk membantu pembelajar memahami pitch accent.
Hal ini membuat saya terkejut karena ternyata Jepang benar-benar serius menjaga keaslian bunyi bahasanya.
Meski begitu, belajar pitch accent tidak mudah.
Saat kata digunakan dalam kalimat, sulit untuk fokus pada nada dari tiap kata.
Sebagian besar pembelajar cenderung memperhatikan irama keseluruhan kalimat, bukan pola nada kata per kata.
Menghafal semua pola nada hampir mustahil dilakukan, terutama bagi pemula.
Namun, kesadaran akan keberadaannya membantu saya berbicara lebih alami.
Pandangan saya kini berubah sepenuhnya.
Dulu saya menganggap nada hanyalah hal kecil. Sekarang, saya paham bahwa itu bagian penting dari cara berbahasa Jepang dengan benar.
Bagi siapa pun yang sedang belajar, saya tidak menyarankan untuk langsung khawatir soal pitch accent.
Fokuslah dulu pada memperkaya kosakata dan membangun rasa percaya diri saat berbicara.
Namun, tetaplah mendengarkan penutur asli sesering mungkin.
Semakin sering kita mendengar bahasa Jepang digunakan secara alami, semakin mudah pula kita menangkap ritme, nada, dan aliran bahasanya.
Belajar bahasa Jepang bukan hanya tentang menguasai tata bahasa dan kosa kata, tetapi juga tentang memahami bagaimana bahasa itu terdengar.
Ketika mulai bisa mendengar perbedaan nada dan intonasi, rasanya seperti selangkah lebih dekat dengan cara berbicara orang Jepang sesungguhnya.
Disampaikan oleh: Hazuvlen, seseorang yang gemar berjalan-jalan di Tokyo sambil menikmati dessert di tangannya.