OHAYOJEPANG - Suhu di Jepang pada Oktober mulai sejuk dan kelembapan menurun, kebiasaan serta pakaian yang dikenakan pun ikut berubah.
Peralihan ini tampak di jalanan dan taman kota yang mulai dipenuhi daun musim gugur Jepang, serta di sekolah, kantor, dan lembaga pemerintahan.
Siswa, pegawai negeri, hingga pekerja toko bersiap menjalani ritual tahunan bernama koromogae (衣替え); tradisi mengganti pakaian musim panas menjadi pakaian musim dingin.
Bagi banyak orang Jepang, koromogae bukan sekadar urusan berpakaian, melainkan simbol kesiapan masyarakat menghadapi perubahan alam dengan tertib dan penuh penghargaan.
Melalui kegiatan sederhana seperti mengganti seragam, masyarakat Jepang menyesuaikan diri dengan ritme musim dan menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar.
Baca juga:
Oktober menjadi bulan pertama saat udara musim gugur mulai terasa stabil di seluruh wilayah Jepang.
Berdasarkan data rata-rata dari Badan Meteorologi Jepang (Japan Meteorological Agency/JMA), suhu siang hari umumnya berkisar 20–22 °C, sedangkan malam hari bisa turun hingga 10–15 °C.
Perbedaan suhu antara siang dan malam membuat pakaian musim panas yang tipis dan ringan tidak lagi cocok digunakan.
Udara pagi dan malam terasa lebih dingin, sedangkan sinar matahari di siang hari masih memberikan sedikit kehangatan.
Kondisi ini mendorong masyarakat untuk beralih ke pakaian berlapis atau berbahan lebih tebal agar tetap nyaman sepanjang hari.
Perubahan cuaca ini juga menjawab pertanyaan banyak orang: “Berapa derajat di Jepang bulan Oktober?”
Jawabannya bukan hanya sekadar angka, melainkan juga tanda bahwa waktu telah tiba untuk menyesuaikan diri.
Dari siswa sekolah hingga pekerja kantor, semua mulai beralih dari pakaian musim panas menuju pakaian yang lebih hangat untuk menghadapi suhu di Jepang yang semakin turun.
Tradisi koromogae biasanya berlangsung setiap 1 Oktober dan menjadi kebiasaan resmi di sekolah, kantor pemerintahan, serta tempat kerja yang memiliki seragam.
Tradisi ini juga dilakukan sebaliknya setiap 1 Juni saat memasuki musim panas.
Pada hari pergantian seragam, siswa mengganti kemeja berlengan pendek dan bahan ringan dengan seragam musim dingin seperti kemeja panjang, blazer, atau sweater.
Di beberapa sekolah, aturan berpakaian bahkan mencakup penggunaan jas atau mantel setelah koromogae.
Hal serupa terjadi di kantor pemerintahan dan tempat kerja yang mewajibkan seragam, termasuk toko ritel dan perkantoran swasta.
Seragam musim panas yang tipis disimpan dan diganti dengan seragam berbahan lebih tebal agar tetap nyaman dan profesional selama musim gugur.
Bahkan, beberapa rumah tangga di Jepang juga melakukan penyesuaian serupa di rumah.
Selain mengganti pakaian, mereka juga mengubah dekorasi musiman seperti gorden atau hiasan rumah agar sesuai dengan suasana musim gugur Jepang.
Semua ini mencerminkan perhatian masyarakat Jepang terhadap keseimbangan antara kehidupan sehari-hari dan perubahan alam.
Tradisi koromogae telah ada sejak periode Heian sekitar abad ke-8, ketika kebiasaan mengganti pakaian sesuai musim dilakukan di lingkungan istana kekaisaran.
Kala itu, perubahan pakaian menjadi bagian dari tata upacara resmi di kalangan bangsawan.
Kebiasaan ini kemudian diadopsi oleh kelas samurai dan semakin diformalkan pada masa pemerintahan Tokugawa.
Dari situlah koromogae menyebar ke seluruh lapisan masyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan sekolah dan pemerintahan.
Kini, tradisi tersebut tetap lestari dan menjadi simbol kedisiplinan serta kepekaan masyarakat Jepang terhadap perubahan alam.
Setiap kali suhu di Jepang menurun pada Oktober, koromogae menjadi pengingat bahwa kehidupan berjalan seiring dengan irama musim.
Melalui tindakan sederhana seperti mengganti seragam, masyarakat Jepang menunjukkan bagaimana tradisi dan alam bisa berjalan seimbang.
Pergantian pakaian tidak hanya menandai datangnya musim gugur, tetapi juga menjadi bentuk penghormatan terhadap keindahan perubahan itu sendiri.
Sumber: