OHAYOJEPANG - Setiap kali Jepang memperingati Hari Olahraga Jepang (Sports Day), suasananya tidak hanya diisi dengan lomba lari dan estafet.
Pada hari nasional yang didedikasikan untuk kesehatan dan aktivitas fisik ini, permainan tradisional Jepang sering muncul berdampingan dengan olahraga modern.
Melalui permainan seperti kendama, koma, dan otedama, Jepang menghubungkan generasi muda dengan warisan budaya, ritme musim, serta semangat kebersamaan.
Permainan ini menjadi jembatan antara tradisi dan olahraga, menghadirkan keseimbangan antara tubuh dan nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat.
Baca juga:
Di banyak sekolah Jepang, terutama saat undoukai atau festival olahraga sekolah yang biasanya digelar bertepatan dengan Hari Olahraga, anak-anak tidak hanya berlari.
Mereka juga bermain permainan tradisional yang menjadi bagian dari rangkaian acara, memberikan lebih dari sekadar hiburan.
Aktivitas ini mengajarkan konsentrasi, keseimbangan, koordinasi, dan kerja sama.
Melalui konteks undoukai, permainan tradisional mendapat tempat sejajar dalam budaya olahraga Jepang, bukan hanya pelengkap, tetapi juga cerminan budaya itu sendiri.
Salah satu permainan yang menonjol adalah kendama.
Mainan berbentuk bola dan cangkir yang dimainkan dengan cara menangkap bola ke dalam cangkir atau paku menggunakan gerakan pergelangan tangan dan ketepatan waktu.
Menurut Japan Kendama Association, bentuk modern kendama berkembang dari mainan serupa yang sudah tercatat sejak akhir abad ke-18.
Selain kendama, anak-anak Jepang juga akrab dengan koma (gasing) dan otedama (permainan melempar dan menangkap kantung kecil berisi kacang).
Permainan ini sering diperkenalkan dalam kegiatan sekolah atau program budaya, di mana murid-murid memainkannya bersama tetangga atau anggota komunitas yang lebih tua.
Di beberapa sekolah, permainan tradisional ini juga tampil dalam festival budaya, terutama saat musim gugur.
Melalui permainan itu, siswa mengekspresikan warisan budaya Jepang dalam bentuk yang hidup dan menyenangkan.
Menariknya, dulu kendama pernah dimainkan sebagai permainan minum bagi orang dewasa di masa lampau.
Kini, mainan tradisional ini berkembang menjadi olahraga kompetitif berskala global.
Jepang bahkan menjadi tuan rumah Kendama World Cup, ajang internasional yang mempertemukan pemain dari berbagai negara untuk menampilkan trik-trik tingkat tinggi.
Perkembangan ini menunjukkan bagaimana permainan sederhana dari masa lalu dapat menemukan kehidupan baru di era modern.
Sejak Supōtsu no Hi menjadi hari libur nasional, banyak sekolah menjadikannya momen penting untuk menyelenggarakan undoukai.
Dalam festival tersebut, permainan tradisional kerap dimasukkan sebagai bagian dari perlombaan atau pertunjukan kecil.
Sejalan dengan semangat Hari Olahraga yang menekankan kesehatan fisik dan mental, sekolah-sekolah di Jepang memanfaatkan momentum ini untuk menghadirkan kegiatan yang bernuansa budaya.
Selain lomba lari atau estafet, murid juga ikut permainan khas Jepang seperti kouhaku tamaire (lempar bola ke keranjang) dan pertempuran kavaleri.
Beberapa sekolah menambah rintangan lomba yang dikombinasikan dengan permainan tradisional seperti kendama.
Permainan tradisional pun berfungsi sebagai sarana pendidikan.
Sekolah terkadang mengundang warga lanjut usia untuk mengajarkan cara memutar koma atau melakukan trik kendama.
Kegiatan ini menciptakan hubungan antargenerasi yang kuat.
Dengan cara itu, permainan tradisional Jepang tidak sekadar dikenang sebagai nostalgia, melainkan tetap menjadi bagian nyata dari budaya sekolah, perayaan, dan identitas nasional.
Permainan tradisional Jepang seperti kendama, koma, dan otedama tetap menawarkan sisi manusiawi di tengah dunia modern yang dipenuhi layar digital dan olahraga terstruktur.
Permainan sederhana ini menghadirkan koneksi, budaya, dan kebahagiaan yang hangat bagi siapa pun yang memainkannya.
Permainan ini menjadi sarana pembelajaran, jembatan antargenerasi, dan warisan budaya yang terus hidup dalam kurikulum sekolah serta perayaan seperti Hari Olahraga Jepang.
Permainan tradisional Jepang, baik dimainkan di sekolah maupun dalam festival, mencerminkan nilai budaya bahwa gerak, tradisi, dan kebersamaan adalah bagian dari hidup yang seimbang.
Sumber: