OHAYOJEPANG - Ketika pertama kali melamar kerja di Jepang, saya tidak menyangka prosesnya akan terasa sangat berbeda dari pengalaman mencari kerja di Indonesia.
Banyak teman bertanya, “Bagaimana caranya lolos wawancara di Jepang?” tetapi saya pikir tidak ada satu jawaban pasti.
Setiap perusahaan punya gaya dan standar tersendiri.
Saya ingin berbagi cerita pribadi tentang bagaimana saya mempersiapkan wawancara pertama di Jepang dan pelajaran berharga yang saya dapatkan.
Baca juga:
Awalnya saya mengira proses wawancara akan sederhana.
Perusahaan tidak meminta sertifikat Japanese Language Proficiency Test (JLPT) atau tes teknis khusus.
Walaupun pewawancaranya orang Jepang, wawancara dijadwalkan dalam bahasa Indonesia.
Kedengarannya mudah, bahkan terlalu mudah, namun saya segera sadar bahwa sedikitnya persyaratan bukan berarti saya bisa bersantai.
Persaingan menjadi lebih ketat sebab banyak pelamar memiliki kualifikasi serupa.
Dari situ saya mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa menonjol di antara pelamar lain.
Akhirnya saya memutuskan berbicara sedikit dalam bahasa Jepang saat wawancara.
Saya ingin memperkenalkan diri dengan sopan, meskipun bahasa Jepang saya masih jauh dari sempurna.
Begitu tanggal wawancara diumumkan, saya langsung mulai belajar.
Saya punya waktu sekitar satu bulan untuk mempersiapkan diri.
Setiap hari saya berlatih membaca hiragana dan katakana, mempelajari sapaan dasar, serta meminta bantuan teman memperbaiki pelafalan.
Saya juga belajar etika dasar orang Jepang, seperti cara membungkuk, menyapa, dan bersikap dalam situasi formal.
Saya tidak terlalu memikirkan apakah akan diterima atau tidak.
Fokus saya hanya satu, memberikan yang terbaik dan keluar dari ruangan wawancara dengan perasaan puas karena sudah berusaha maksimal.
Hari wawancara dijadwalkan pukul 09.30 pagi.
Saya masih ingat jelas pagi itu turun hujan deras dan lalu lintas macet.
Takut terlambat, saya berangkat lebih awal dan tiba di lokasi sekitar pukul 08.00.
Mungkin terlalu cepat, tapi saya pikir lebih baik datang terlalu awal daripada terlambat.
Saat tiba, seorang staf menyapa sambil tersenyum dan berkata, “Meccha hayai!” yang berarti “Kamu datang sangat pagi!”
Saya hanya mengerti kata “pagi”, tetapi bagi saya itu seperti kemenangan kecil setelah sebulan belajar bahasa Jepang.
Karena menjadi peserta pertama yang datang, saya sempat berbincang ringan dengan staf sambil menunggu giliran.
Percakapan singkat itu membantu menenangkan perasaan gugup saya.
Ketika akhirnya tiba giliran wawancara, saya menarik napas panjang dan masuk ke ruangan sambil mengucap pelan, “Shitsurei shimasu,” atau “Permisi.”
Jantung saya berdebar kencang.
Begitu duduk, semua kalimat dalam bahasa Jepang yang sudah saya hafalkan tiba-tiba hilang dari kepala.
Salah satu pewawancara tersenyum dan berkata lembut, “Silakan perkenalkan diri Anda. Bisa menggunakan bahasa Indonesia kalau mau.”
Saya sempat terdiam beberapa detik.
Selama sebulan, saya mempersiapkan perkenalan dalam bahasa Jepang sehingga rasanya sia-sia jika tidak menggunakannya.
Beberapa detik kemudian, saya memutuskan tetap menggunakan bahasa Jepang.
Suara saya bergetar, tetapi saya berhasil mengucapkan perkenalan seperti yang sudah saya latih.
Tidak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa saya telah berusaha.
Melihat kembali pengalaman itu, saya menyadari satu hal penting bahwa usaha kecil pun memiliki makna besar.
Kesuksesan tidak selalu tentang kefasihan atau kemampuan teknis sempurna.
Kadang hal paling berharga justru ketulusan dan keberanian untuk mencoba.
Hari itu saya bukan hanya menguji kemampuan bahasa Jepang, tetapi juga keberanian keluar dari zona nyaman.
Saat meninggalkan ruangan wawancara, saya merasa bangga bukan karena yakin diterima, melainkan karena sudah berani menghadapi ketakutan sendiri.
Itulah awal perjalanan saya bekerja di Jepang.
Pengalaman itu mengajarkan bahwa setiap langkah sekecil apa pun bisa menjadi awal dari sesuatu yang besar jika dilakukan dengan hati.
Konten disediakan oleh Langit, orang biasa yang menghargai hal-hal kecil sebesar langit.