OHAYOJEPANG - Jepang dikenal dengan tradisi budaya dan kearifan lokal yang berakar kuat serta mencerminkan harmoni dengan alam, spiritualitas, dan penghormatan pada leluhur.
Salah satu praktik khas yang mencerminkan hal tersebut adalah O-higan (お彼岸), sebuah peringatan Buddhis yang berlangsung pada waktu titik ekuinoks, terutama ekuinoks musim gugur pada September.
Tradisi ini memberikan gambaran mendalam tentang kehidupan spiritual masyarakat Jepang.
Baca juga:
Istilah O-higan berarti 'pantai seberang' yang melambangkan perjalanan dari 'pantai penderitaan' atau kehidupan duniawi menuju 'pantai pencerahan' atau nirwana.
Makna ini berakar kuat dalam ajaran Buddhisme Jepang, yang memandang titik ekuinoks sebagai waktu ketika batas antara dunia orang hidup dan arwah leluhur menjadi paling tipis.
Dalam momen ini, keluarga di Jepang menghormati leluhur mereka melalui beragam praktik spiritual yang sudah dijalankan turun-temurun.
Tradisi ini bukan hanya sebatas ritual keagamaan, tetapi juga bentuk ikatan batin yang memperkuat hubungan antara generasi yang masih hidup dengan generasi yang telah mendahului.
O-higan menjadi waktu khusus untuk merenungkan perjalanan hidup, menyadari kefanaan, serta mendekatkan diri pada nilai-nilai kebajikan.
O-higan berlangsung selama tujuh hari, dimulai tiga hari sebelum titik ekuinoks dan berakhir tiga hari setelahnya.
Dalam rentang waktu ini, keluarga Jepang melakukan berbagai aktivitas penting, antara lain:
Mengunjungi makam leluhur: Keluarga membersihkan area makam, meletakkan bunga, menyalakan dupa, memberi persembahan makanan, serta memanjatkan doa bagi arwah leluhur. Kegiatan ini memperkuat ikatan lintas generasi.
Membaca sutra: Kitab suci Buddhis dilantunkan untuk menuntun arwah leluhur sekaligus menjadi refleksi atas ajaran Buddha.
Menyajikan makanan musiman: Hidangan khusus seperti ohagi, yaitu bola nasi manis yang dilapisi pasta kacang merah, dipersiapkan dan dipersembahkan di altar keluarga maupun di makam.
Rangkaian ritual ini menghadirkan nuansa kebersamaan dalam keluarga sekaligus menegaskan nilai penghormatan terhadap leluhur.
O-higan menjadi menjadi momentum untuk mengenang leluhur sekaligus kesempatan bagi setiap individu untuk merenungkan kehidupan pribadi.
Tradisi ini mendorong masyarakat untuk menilai kembali tindakan mereka, memahami sifat sementara dari kehidupan, dan mengingat pentingnya hidup dengan penuh kebajikan.
O-higan berfungsi sebagai pengingat bahwa perjalanan spiritual itu tentang menghormati masa lalu dan menata masa kini dan masa depan dengan lebih baik.
Melalui O-higan, masyarakat Jepang menjaga keseimbangan antara spiritualitas, keluarga, dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
@ohayo_jepang Kalau di Indonesia, kalo ada hajatan takut hujan langsung manggil pawang. Tapi di Jepang, malah bikin boneka lucu begini buat nangkal hujan?! 😭 Namanya Teru Teru Bozu (てるてる坊主) — “Teru” artinya bersinar, “Bozu” itu gambaran pendeta. Boneka ini udah ada sejak zaman Edo, dulu dipakai petani buat minta cuaca cerah biar panen gak gagal. Sekarang, anak-anak Jepang masih sering bikin ini sebelum acara penting kayak field trip atau lomba olahraga, biar langitnya cerah dan gak hujan! Bentuknya? Sederhana banget: bulat di atas, pakai kain putih—simbolisasi harapan, kesucian, dan permohonan. Biasanya dikasih gambar senyum biar langit juga “senyum balik” alias cerah tanpa hujan ☀️ Polling: Kalau kamu lebih percaya yang mana? Kreator Konten: Zahra Permata Jodea Produser: Luthfi Kurniawan Penulis: YUHARRANI AISYAH #OhayoJepang #Tinggaldijepang #KerjadiJepang ♬ suara asli - Ohayo Jepang