OHAYOJEPANG - Ketika panas musim panas perlahan berganti dengan sejuknya angin musim gugur, berbagai matsuri di Jepang menjadi ajang meriah untuk merayakan kebersamaan, tradisi, sekaligus pergantian musim.
Musim gugur di Jepang yang berlangsung dari September hingga November, ditandai dengan perubahan warna dedaunan dan semangat perayaan matsuri.
Di awal September, sejumlah matsuri lokal di Jepang masih berlangsung penuh, memperlihatkan ritme budaya dan peralihan musim yang khas.
Baca juga:
Festival ini digelar setiap tanggal 1–3 September di Yatsuo, Toyama.
Owara Kaze no Bon terkenal sebagai festival tarian elegan yang berakar pada tradisi pertanian.
Para penari mengenakan topi anyaman dan kimono panjang, lalu bergerak anggun menyusuri jalan berbatu sempit saat senja.
Gerakan mereka lembut sekaligus syahdu, seakan berdialog dengan angin.
Dahulu, festival ini diadakan untuk menenangkan roh angin dan memohon panen yang melimpah.
Hingga kini, suasananya tetap tenang tetapi penuh makna, menjadikannya salah satu matsuri paling atmosferik di awal musim gugur.
Di Kakunodate, Prefektur Akita, Kakunodate-matsuri selalu digelar pada 7–9 September setiap tahunnya.
Berpusat di Kuil Shinmei-sha, festival ini menampilkan prosesi meriah, tarian tradisional, hingga puncak acara dramatis bernama oyamabayashi.
Dalam acara ini, mikoshi atau kereta festival saling bertabrakan dengan penuh energi.
Dengan sejarah lebih dari 350 tahun, Kakunodate-matsuri bahkan sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Rakyat Takbenda Penting di Jepang.
Meski masuk pertengahan September, Kishiwada Danjiri Matsuri sering dianggap sebagai pembuka musim gugur.
Festival ini digelar di akhir pekan sebelum Hari Penghormatan kepada Lansia.
Ciri khasnya adalah kereta kayu raksasa (danjiri) seberat hingga 4 ton yang ditarik dengan penuh semangat oleh tim-tim warga setempat.
Di atas kereta, seorang daikugata menari dengan penuh keberanian, termasuk aksi ikonik “Hikokinori” atau pose “Pesawat” yang spektakuler.
Perpaduan kompetisi, kebanggaan komunitas, dan tradisi berabad-abad menjadikannya salah satu festival paling mendebarkan di awal musim gugur.
Festival menarik lainnya adalah Tsurugaoka Hachimangu Reitaisai yang digelar setiap 14–16 September di Kamakura, Kanagawa.
Selain prosesi kuil yang khidmat, festival ini juga menampilkan tradisi yabusame atau panahan dari atas kuda.
Panahan ini dilakukan oleh samurai dengan busana lengkap sesuai tradisi.
Pemandangan pemanah menunggang kuda dengan cepat lalu membidik sasaran dari kejauhan menghadirkan kembali warisan bela diri Jepang di depan mata.
Festival Tsukimi adalah tradisi menikmati keindahan bulan purnama musim panen.
Biasanya festival ini jatuh pada pertengahan September atau awal Oktober.
Dalam perayaan ini, masyarakat menghias rumah dengan rumput susuki atau ilalang perak.
Mereka juga menikmati tsukimi dango atau kue beras manis, serta mempersembahkan hasil panen seperti kastanye dan ubi.
Tradisi kuno ini menjadi momen refleksi, ungkapan syukur, serta apresiasi pada keindahan tenang musim gugur.
Festival ini juga menjadi kontras indah dari semaraknya perayaan lokal lainnya.
Awal September di Jepang adalah masa transisi antara akhir musim panas yang masih hangat dengan nuansa sejuk musim gugur.
Kontras ini tercermin dalam festival-festival yang mewarnai jalanan dengan doa syahdu untuk panen sekaligus energi kemeriahan luar biasa.
Perpaduan kesadaran musim dan ekspresi budaya inilah yang membuat matsuri di awal musim gugur terasa begitu istimewa.
Nama Festival | Lokasi | Tanggal | Sorotan |
---|---|---|---|
Owara Kaze no Bon | Toyama (Yatsuo) | Awal September | Tarian anggun di jalan tua, doa panen |
Kakunodate-matsuri | Akita (Kakunodate) | 7–9 Sept | Kereta tabrakan, prosesi & tarian tradisional |
Kishiwada Danjiri Matsuri | Osaka (Kishiwada) | Pertengahan Sept | Kereta danjiri raksasa, tarian “Pesawat” |
Tsurugaoka Hachimangu Reitaisai | Kanagawa (Kamakura) | 14–16 Sept | Panahan berkuda, prosesi kuil |
Festival Tsukimi | Seluruh Jepang | Pertengahan Sept–Okt | Persembahan bulan, ilalang susuki, syukur musim gugur |
Sumber:
@ohayo_jepang Kerja di Jepang? Jangan Asal Follow Sosmed Rekan Kerjamu! Di budaya kerja Jepang, kehidupan pribadi dan pekerjaan dipisah dengan sangat jelas. Follow-followan di Instagram atau Twitter sama atasan bisa dianggap kurang sopan, apalagi kalau gak izin dulu. 📌 Banyak orang Jepang merasa sosmed itu ruang pribadi, gak sembarangan dibagi kesiapapun. Jadi, tindakan yang biasanya normal aja di Indonesia, bisa bikin canggung atau bahkan dinilai tidak profesional di Jepang. 💡 Kalau kamu kerja di Jepang, lebih baik tahan dulu jari kamu buat follow-followan. Kecuali… rekan kerja kamu yang mulai duluan 😅 📖 Baca selengkapnya soal etika bersosmed di kantor Jepang, di artikel Ohayo Jepang, link di bio ya! Kreator Konten: Salma Aichi, Zahra Permata J Produser: Siti Annisa Penulis: Yuharrani Aisyah #OhayoJepang #KagetGakTuh #HidupdiJepang #KerjadiJepang #MagangdiJepang #BudayaJepang #LowonganKerjaJepang #jepang2025 ♬ suara asli - Ohayo Jepang