OHAYOJEPANG - Setiap pagi, pemandangan di stasiun Jepang selalu meninggalkan kesan mendalam.
Orang-orang dengan gangguan penglihatan berjalan dengan percaya diri melewati keramaian tanpa banyak meminta bantuan.
Mereka bisa menuruni tangga, menyeberang jalan, hingga naik kereta dengan langkah pasti.
Kemandirian itu bukan semata hasil keberanian pribadi, melainkan buah dari desain kota yang konsisten dan mudah ditebak.
Di balik keseharian itu, ada aturan, pedoman, dan penerapan di lapangan yang membentuk lingkungan ramah tunanetra.
Mulai dari jalur ubin kuning, suara pengumuman, hingga rute tanpa hambatan, semua dirancang untuk memberi kepastian arah.
Baca juga:
Hal pertama yang paling menonjol adalah guiding block yaitu jalur ubin kuning dengan pola timbul yang dikenal sebagai tenji blocks.
Ubin dengan titik-titik berfungsi sebagai tanda peringatan, misalnya di tepi peron, tangga, atau penyeberangan jalan.
Sementara itu, ubin bergaris lurus menjadi penunjuk arah di jalur yang aman.
Penempatannya tidak acak karena pedoman nasional mengatur standar pemasangan agar jalur berkesinambungan.
Jalur yang terhubung inilah yang membantu penyandang tunanetra membangun peta mental perjalanan mereka.
Dengan peta mental yang jelas, setiap langkah bisa lebih mantap.
Itulah sebabnya mereka tampak tenang meski berjalan di tengah kepadatan stasiun atau trotoar.
Selain ubin taktil, suara juga menjadi petunjuk penting.
Di stasiun, terdengar pengumuman jelas yang memberi informasi arah dan nomor peron.
Di jalan, sinyal suara pada lampu penyeberangan membantu memastikan waktu aman untuk menyeberang.
Fungsi suara ini bukan sekadar kenyamanan tambahan, tetapi bagian dari pedoman aksesibilitas nasional.
Suara melengkapi jalur taktil, memberikan kepastian posisi dan arah perjalanan.
Operator transportasi pun menambahkan panduan suara agar penumpang bisa lebih mudah memahami instruksi perjalanan.
Dari titik naik kereta hingga arah transfer, informasi yang disampaikan membuat navigasi lebih sederhana dan jelas.
Kemandirian juga terlihat saat penyandang tunanetra menggunakan mesin tiket atau kios informasi tanpa menunggu bantuan petugas.
Banyak mesin sudah dilengkapi tanda taktil, label braille, hingga panduan suara.
Pedoman resmi menganggap mesin, papan informasi, hingga layanan petugas sebagai bagian dari sistem yang sama dengan infrastruktur fisik.
Dengan begitu, tidak hanya jalur atau lift yang diperhatikan, tetapi juga interaksi langsung dengan layanan publik.
Ketika perangkat keras dan layanan saling mendukung, perjalanan mandiri menjadi semakin mungkin.
Penyandang tunanetra tidak harus selalu bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan kebutuhan sehari-hari di ruang publik.
Hal menarik lainnya adalah minimnya kebutuhan untuk berhenti dan bertanya arah ketika harus berpindah lantai.
Banyak stasiun kini menyediakan satu jalur bebas hambatan dari jalan hingga peron.
Jalur itu biasanya berupa kombinasi lift atau ramp yang ditandai dengan jelas.
Informasi mengenai rute bebas hambatan juga dipublikasikan oleh operator transportasi, sehingga pengguna bisa merencanakan perjalanan lebih dulu.
Ketersediaan rute berkesinambungan ini mencerminkan standar nasional yang diterapkan secara nyata.
Investasi lokal juga turut memastikan bahwa fasilitas tetap terawat dan mudah digunakan.
Dengan rute tanpa hambatan ini, perjalanan menjadi lebih sederhana, terutama bagi mereka yang membutuhkan aksesibilitas penuh.
Kepercayaan diri penyandang tunanetra di ruang publik bukan semata kemampuan individu.
Di baliknya, ada lingkungan yang terprediksi dan konsisten.
Jalur taktil yang menyambung, suara pengumuman yang jelas, mesin yang bisa diakses, hingga rute bebas hambatan, semuanya membentuk sistem yang mendukung kemandirian.
Aturan nasional seperti Barrier-Free Act dan pedoman teknis dari kementerian terkait menetapkan standar.
Operator transportasi dan pemerintah kota kemudian menerapkannya dalam bentuk fasilitas nyata.
Ketika kebijakan, rekayasa, dan layanan berpadu, hasilnya adalah ruang publik yang membuat semua orang bisa bergerak dengan lebih mandiri.
Inilah bukti nyata bagaimana desain kota bisa membentuk pengalaman sehari-hari yang setara.
Penulis: Rafari, WNI yang bekerja di Jepang. Ia suka makanan penuh rasa, aktivitas fisik yang mengalir, dan tempat pelarian tersembunyi. (Karaksa Media Partner, September 2025)
Sumber:
@ohayo_jepang Kerapian dan kebersihan Jepang memang bukan mitos. Salah satu kuncinya adalah sistem pembuangan sampah yang super ketat. Di sana, sampah harus dipisah berdasarkan jenisnya: 1. Sampah daur ulang (kaca, kaleng, plastik) 2. Sampah yang bisa dibakar (sisa makanan) 3. Sampah yang tidak bisa dibakar 4. Sampah berukuran besar Setelah pengelompokan sampah berdasarkan jenisnya, sampah dapur dan sampah yang berpotensi kotor, seperti kemasan susu atau minuman manis lainnya, sebaiknya dicuci atau dibersihkan terlebih dahulu. Semua punya jadwal buang dan tempatnya masing-masing. Kalau salah? Siap-siap dapat teguran! Aturan ini berbeda di setiap distrik, jadi pastikan kamu cek jadwalnya di mading apartemen atau website resmi pemerintah setempat. Kreator Konten: Salma Aichi K Produser: Siti Annisa Penulis: Ni Luh Made Pertiwi F #OhayoJepang #HidupdiJepang #KerjadiJepang #MagangdiJepang #BudayaJepang ♬ suara asli - Ohayo Jepang