Bagi seorang pelancong asal Indonesia, keluar dari gemerlap Tokyo lalu berhadapan dengan festival musim panas di Jepang terasa seperti memasuki dunia lain.
Suasana penuh warna, dentuman musik, dan aroma makanan jalanan membuat siapa pun merasa larut dalam budaya yang sudah berusia ratusan tahun.
Di balik keramaian, ada tradisi yang dijaga dan diwariskan sehingga menjadi jembatan antara generasi tua dan muda.
Festival musim panas di Jepang tak sekadar hiburan, melainkan ruang bersama untuk merayakan warisan budaya.
Baca juga:
Sepanjang Juli hingga Agustus, Jepang dipenuhi matsuri yang meramaikan hampir setiap kota.
Di Kyoto, Gion Matsuri menjadi puncak perayaan dengan arak-arakan kendaraan hias pada 17 dan 24 Juli.
Malamnya, warga membuka rumah mereka dalam tradisi yoiyama untuk memperlihatkan pusaka sekaligus berbagi makanan dengan pengunjung.
Sementara di Tokyo, suasana tak kalah meriah lewat Sumidagawa Hanabi Taikai pada Sabtu terakhir Juli.
Lebih dari 20.000 kembang api diluncurkan ke langit malam, ditonton hampir sejuta orang yang berkumpul di tepi Sungai Sumida.
Tradisi ini berakar dari era Edo, saat pesta kembang api dipercaya membawa penyembuhan dan mempererat kebersamaan.
Dua festival ini menunjukkan bagaimana Jepang menjaga warisan lama sambil tetap relevan di masa kini.
Ada Awa Odori di Tokushima yang digelar pada 12–15 Agustus dan dikenal sebagai festival tari terbesar di Jepang.
Lebih dari sejuta orang datang untuk menyaksikan kelompok penari atau “ren” yang menari mengikuti irama shamisen, taiko, seruling, dan lonceng.
Di Aomori, Nebuta Matsuri berlangsung pada 2–7 Agustus dengan lentera raksasa berbentuk pahlawan legendaris dan makhluk mitologi.
Lampion bercahaya ini diarak keliling kota, mengundang penonton untuk ikut menari di sekitarnya.
Sendai pun punya Tanabata Festival dengan bambu yang dihiasi pita warna-warni dan tanzaku berisi doa dan harapan.
Pesta ini ditutup dengan kembang api pada 5 Agustus, menambah semarak perayaan.
Ketiga festival ini menampilkan betapa kayanya ekspresi budaya Jepang yang berpijak pada cerita rakyat.
Bagi pelancong asal Indonesia, matsuri menghadirkan suasana akrab sekaligus berbeda.
Langkah dengan geta di jalanan padat, warga memakai yukata, serta makanan seperti takoyaki atau kakigōri mengingatkan pada pasar malam di tanah air.
Bedanya, semua dikemas dengan keanggunan khas Jepang yang membuat pengalaman terasa istimewa.
Kebersamaan lintas generasi terlihat jelas, baik saat anak-anak dan orang tua ikut menari Bon Odori atau ketika mereka sekadar menikmati arak-arakan.
Suasana ini serupa dengan syukuran desa di Indonesia, di mana tradisi menjadi alasan untuk berkumpul dan bersuka cita.
Banyak festival musim panas di Jepang juga menyatukan sisi sakral dan riang.
Ada ritual penghormatan leluhur; tetapi ada juga tarian, musik modern, dan pesta jalanan yang penuh tawa.
Keseimbangan antara spiritualitas dan hiburan inilah yang membuat matsuri selalu dinanti, termasuk oleh wisatawan dari Indonesia.
Sumber:
Penulis: Karaksa Media Partner (Agustus 2025)
View this post on Instagram