Dewi melamar dan mengikuti proses seleksi. Ia terkejut saat akhirnya diterima bekerja di sana pada April 2012.
Saat itu, ia masih merasa kemampuan bahasa Jepangnya belum maksimal, apalagi dalam istilah medis.
“Saya sendiri bingung kenapa bisa diterima,” ujarnya.
Belakangan, Dewi mengetahui bahwa perekrutnya adalah wakil direktur klinik yang saat itu memiliki visi untuk memperluas jangkauan perusahaan ke luar negeri, termasuk Indonesia.
Sebagai satu-satunya pelamar asal Indonesia, Dewi dianggap berpotensi menjadi jembatan ekspansi walau belum terealisasi sampai sekarang.
Setelah diterima bekerja, Dewi harus mengubah visanya dari visa pelajar menjadi visa kerja.
Ia pun mengajukan aplikasi visa engineer, kini dikenal sebagai visa gijinkoku yang juga mencakup profesi engineer.
Saat itu belum ada layanan pendukung berbahasa asing seperti sekarang, Dewi harus mencari tahu sendiri cara mengajukan visa kerja.
Ia membuka situs imigrasi Jepang, membaca dokumen dalam bahasa Jepang dan menggunakan kamus digital.
Dewi juga harus menyiapkan kontrak kerja dan dokumen dari perusahaan yang membuktikan bahwa tempat ia melamar legal dan membayar pajak.