Dalam novelnya The Emissary (2014), Tawada mengeksplorasi kondisi setelah sebuah bencana besar yang tak disebutkan secara eksplisit.
Kisah ini terinspirasi oleh hubungan antara bom atom, bencana nuklir Fukushima, dan penyakit Minamata, keracunan merkuri massal akibat polusi industri pada 1950-an.
Bagi Tawada, kisah tersebut bukan peringatan, melainkan pesan harapan bahwa keadaan bisa memburuk, tetapi akan menemukan cara untuk bertahan.
Salah satu simbol paling ikonik dari kecemasan nuklir Jepang adalah Godzilla.
Makhluk prasejarah ini digambarkan bangkit akibat uji coba bom hidrogen Amerika Serikat di Pasifik.
Menurut Tsutsui, monster seperti Godzilla diperlukan “untuk memberi wajah dan bentuk bagi ketakutan abstrak”—dalam hal ini, energi atom dan radiasi.
Film Godzilla pertama pada 1954 bahkan membuat banyak penonton menangis di bioskop.
Diketahui pula bahwa kulit Godzilla dirancang menyerupai jaringan parut keloid pada para penyintas bom Hiroshima dan Nagasaki.
Meskipun tema nuklir menjadi latar belakang utama di awal, film-film selanjutnya mulai mengurangi sorotan terhadap isu tersebut agar lebih dapat diterima oleh penonton internasional, terutama dari Amerika.
Namun, tema itu tetap hidup, seperti dalam Shin Godzilla (2016) yang dipandang sebagai kritik terhadap respons pemerintah Jepang terhadap bencana Fukushima.