Sementara itu, Chintami Pertama Putri, seorang perawat bersertifikat (kanggōshi), mengenang perjuangan panjang saat awal merantau.
Ia harus membagi waktu antara sekolah dan kerja, sering kali dengan waktu tidur yang sangat minim.
“Dulu, berangkat pagi sekolah, sore langsung kerja. Tidak mudah, tugasnya banyak dan sulit dipahami. Di sisi lain, (saya) kurang tidur dan terasa dikejar-kejar waktu,” kenangnya.
Namun, pengalaman itu membentuk mental dan fisiknya. Kini, ia bisa merasa bangga dengan pekerjaannya. Dapat menyisihkan sebagian uang untuk dikirim ke rumah, rasanya semua itu terbayar seperti tanda terima kasih.
Di Osaka, Rizki Ade Saputra bekerja di sebuah pabrik dan merasa sangat beruntung memiliki lingkungan kerja yang terasa seperti keluarga. Terlahir dari keluarga sederhana, Rizki memiliki impian besar untuk memperbaiki taraf hidup.
Ia bekerja keras demi membiayai pendidikan adik-adiknya dan menafkahi istri serta anaknya di Indonesia.
“Saya ingin kehidupan yang lebih baik, terutama secara ekonomi,” ujarnya.
Rutin mengirim uang menjadi wujud tekad dan cinta Rizki kepada keluarganya di Tanah Air.
Sementara itu, Sudaru Hitori, pekerja pabrik lainnya, telah tujuh tahun berturut-turut tidak merayakan Lebaran di kampung halaman.
Ia pun aktif membuat konten di media sosial sebagai bentuk ekspresi dan pelarian dari rasa rindu.