Hal ini bukan untuk mempersulit, tapi untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan, yang dalam bahasa Jepang disebut wa (和).
Misalnya, ketika seseorang mengatakan “enak” saat mencicipi hidangan yang sebenarnya tidak sesuai selera, itu adalah bentuk tatemae.
Tujuannya bukan untuk berbohong, tetapi sebagai ungkapan halus agar tidak menyakiti perasaan tuan rumah.
Berbeda dengan istilah “eufemisme” atau “white lie” dalam bahasa Inggris yang sering diartikan sebagai ungkapan yang tidak langsung, tatemae dan honne selalu muncul berpasangan.
Keduanya membantu masyarakat Jepang menjaga ketenangan dalam hubungan antarmanusia, antara manusia dan alam, hingga hubungan spiritual.
Bagi sebagian orang luar, tatemae dan honne mungkin terlihat membingungkan atau bahkan dianggap seperti bersikap dua wajah.
Namun, bagi masyarakat Jepang, keduanya adalah seni komunikasi yang penuh kehalusan dan kedewasaan.
Dengan memahami dan menghormati perbedaan ini, kita bisa belajar bagaimana menjaga hubungan yang lebih baik, tidak hanya di Jepang, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Seni komunikasi ala Jepang ini mengajarkan kita pentingnya kesabaran, empati, dan menghargai perasaan orang lain demi menciptakan keharmonisan bersama.
Sumber:
View this post on Instagram