Sumo bukan sekadar olahraga di Jepang, melainkan bagian dari budaya yang sudah melekat erat sejak ribuan tahun lalu.
Gulat tradisional ini bahkan dianggap sebagai olahraga nasional Negeri Sakura.
Setiap tahunnya, Jepang rutin menggelar enam turnamen sumo besar pada bulan Januari, Maret, Mei, Juli, September, dan November.
Turnamen sumo besar berikutnya di Jepang adalah Natsu Basho (Turnamen Musim Panas) pada 11 hingga 25 Mei 2025 di Ryōgoku Kokugikan, Tokyo.
Melansir World History Encyclopedia, sumo memiliki sejarah panjang yang berakar dari kepercayaan Shinto.
Konon, olahraga ini sudah ada sejak periode Yayoi (sekitar 300 SM–300 M).
Pada masa itu, sumo lebih dari sekadar hiburan. Ini merupakan bagian dari ritual untuk memanggil atau menghadapi roh dan dewa-dewi.
Nama pesumo pertama yang tercatat dalam sejarah Jepang adalah Nomi no Sukune.
Ia diyakini merupakan keturunan Amenohohi, anak dari Dewi Matahari Amaterasu.
Nomi no Sukune pernah diperintahkan oleh Kaisar Suinin (memerintah pada 29 SM–70 M) untuk bertanding melawan pesumo lain bernama Taima no Kehaya, dan ia menjadi pemenang.
Pada abad ke-8 M, terutama di periode Nara, sumo mulai berkembang menjadi pertandingan antar orang-orang kuat.
Kontes seperti ini disebut tsuji-zumo, dan kerap diselenggarakan dengan hadiah uang tunai. Para samurai pun sering ikut serta.
Namun, tsuji-zumo saat itu masih belum memiliki aturan yang jelas. Tak jarang, pertandingan berakhir tragis hingga memakan korban jiwa.
Selain itu, ada pula kanjin-zumo, yaitu pertandingan sumo yang diadakan di kuil Shinto.
Tujuannya untuk menggalang dana agar kuil bisa tetap beroperasi.
Dari sini, terlihat bagaimana sumo sudah sejak lama menjadi bagian dari kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat Jepang.
Baca juga:
Gerakan-gerakan khas dalam sumo ternyata memiliki makna spiritual yang kuat.
Misalnya, saat pesumo mengangkat satu kaki lalu menghentakkannya ke tanah dengan keras, gerakan ini disebut shiki.
Gerakan ini berasal dari kebiasaan para prajurit zaman dahulu yang ingin menakuti musuh sebelum pertempuran.
Bahkan dalam mitologi Shinto, Dewi Amaterasu pernah melakukan gerakan shiki saat menghadapi saudaranya yang sulit dikendalikan, Susanoo.
Sebelum bertanding, pesumo juga akan menepukkan tangan, sebuah praktik yang umum dilakukan umat Shinto sebelum dan sesudah berdoa.
Tak hanya itu, garam ditaburkan ke arena (dohyo) sebagai simbol penyucian, sesuai kepercayaan Shinto.
Menariknya lagi, wasit sumo atau gyoji mengenakan pakaian yang menyerupai jubah bangsawan istana Jepang pada zaman dulu, yang juga mirip dengan busana pendeta Shinto masa kini.
Sumo seperti yang kita kenal sekarang mulai dijalankan secara rutin pada tahun 1684, di kuil Shinto Tomioka Hachimangu di Tokyo, pada masa Edo.
Seorang mantan samurai bernama Ikazuchi Gondayu berperan penting dalam menyusun aturan pertandingan dan membentuk arena sumo yang kemudian menjadi standar hingga saat ini.
Kini, menjadi pesumo atau rikishi adalah profesi yang dijalani secara serius.
Para calon rikishi biasanya mulai berlatih sejak lulus SMP di tempat latihan bernama sumo-beya.
Mereka harus berjuang menaiki jenjang peringkat di dunia sumo profesional.
Berdasarkan Japan Sumo Association, berikut jadwal turnamen sumo besar di Jepang selama 2025.
Setiap turnamen biasanya dimulai pada Minggu dan berlangsung selama 15 hari.
Tanggal: 12–26 Januari 2025
Lokasi: Ryōgoku Kokugikan, Tokyo
Tanggal: 9–23 Maret 2025
Lokasi: Edion Arena Osaka, Osaka
Tanggal: 11–25 Mei 2025
Lokasi: Ryōgoku Kokugikan, Tokyo
Tanggal: 13–27 Juli 2025
Lokasi: Aichi Prefectural Gymnasium, Nagoya
Tanggal: 14–28 September 2025
Lokasi: Ryōgoku Kokugikan, Tokyo
Tanggal: 9–23 November 2025
Lokasi: Fukuoka Kokusai Center, Fukuoka
Sumber:
View this post on Instagram