Sebaliknya, tingkat partisipasi jauh lebih rendah di perusahaan kecil. Hanya 25,1 persen ayah mengambil cuti di perusahaan dengan lima hingga 29 pekerja.
Di perusahaan dengan 30 hingga 99 pegawai, angkanya mencapai 35,8 persen.
Data ini mencerminkan tantangan yang lebih besar bagi karyawan di usaha kecil dan menengah.
Selain keterbatasan sumber daya, tekanan sosial agar tidak membebani rekan kerja kerap membuat para ayah ragu untuk mengambil hak cutinya.
Tingkat pengambilan cuti ayah juga sangat bergantung pada sektor pekerjaan.
Di sektor keuangan dan asuransi, lebih dari 60 persen ayah mengambil cuti setelah kelahiran anak.
Sementara itu, di sektor properti, layanan penyewaan barang, jasa gaya hidup, dan hiburan, partisipasinya masih di bawah 20 persen.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap cuti ayah belum merata.
Beberapa sektor sudah lebih maju dalam memberi ruang bagi pekerja laki-laki untuk hadir di masa awal kehidupan anak, sementara sektor lain masih tertinggal.
Pejabat Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mengatakan bahwa penting untuk menciptakan masyarakat yang menghormati keinginan pekerja mengambil waktu untuk keluarga.