Susan Napier, profesor dari Tufts University di Amerika Serikat dan penulis buku Miyazakiworld: A Life in Art, setuju dengan pandangan ini.
"Di Ghibli, kamu akan menemukan ambiguitas, kompleksitas, dan juga kesediaan untuk melihat bahwa kegelapan dan terang seringkali berjalan beriringan. Berbeda dengan kartun Amerika yang umumnya mengedepankan pertarungan antara baik dan jahat" katanya.
Film pasca-apokaliptik Nausicaa of the Valley of the Wind yang dianggap sebagai film Ghibli pertama meskipun dirilis pada 1984 tidak memiliki tokoh antagonis yang jelas.
Film tersebut terasa segar karena menghadirkan putri mandiri yang tertarik pada serangga raksasa dan hutan beracun.
Hal itu mengubah pandangan wanita pasif yang selalu harus diselamatkan.
Film Studio Ghibli juga kerap menggambarkan alam semesta di mana manusia memiliki hubungan yang mendalam dengan alam dan dunia roh.
Princess Mononoke (1997) misalnya. Kisah seorang gadis yang dibesarkan oleh dewi serigala di hutan yang terancam oleh manusia ini adalah sebuah mahakarya tapi film yang berat.
Ini adalah film yang serius, gelap, dan penuh kekerasan sehingga lebih dihargai oleh orang dewasa. Tidak seperti film Hollywood tentang putri pada umumnya.
"Film Ghibli memiliki sisi lingkungan dan animisme, yang menurut saya sangat relevan untuk dunia kontemporer dengan perubahan iklim," ucap Napier.
Miyuki Yonemura, profesor dari Senshu University di Jepang yang mengkaji teori budaya tentang animasi, mengatakan bahwa menonton film Ghibli seperti membaca sastra.