OHAYOJEPANG - Tokyo International Film Festival (TIFF) ke-38 resmi dibuka di Distrik Hibiya, pusat Tokyo, pada Senin (27/10/2025).
Acara pembukaan berlangsung meriah dengan kehadiran para aktor, sutradara, dan insan perfilman dari Jepang maupun mancanegara yang melangkah di karpet merah.
Melansir NHK, tahun ini sebanyak 15 film masuk nominasi kompetisi utama, terpilih dari 1.970 karya yang dikirim dari 108 negara dan kawasan.
Selama festival yang digelar hingga 5 November mendatang, total 184 film akan diputar di berbagai lokasi di pusat kota Tokyo.
Melansir JNTO, ajang ini menjadi wadah penting bagi para pembuat film dunia untuk memamerkan karya mereka sekaligus memperkuat posisi Tokyo sebagai salah satu pusat budaya perfilman Asia.
Melansir Time Out dan IndieWire, berikut 15 daftar film yang wajib ditonton dalam Tokyo International Film Festival 2025:
Baca Juga:
Melansir laman resmi Tokyo International Film Festival, film Momotaro, Sacred Sailors menceritakan seorang anak laki-laki yang lahir dari buah persik dan berjuang bersama sahabat hewannya untuk mengalahkan para raksasa.
Kisah ini merupakan gambaran simbolis dari perjuangan melawan Kekuatan Sekutu pada masa Perang Dunia II.
Meski berlatar perang, film ini lebih menonjolkan unsur puitis dan humor khas Jepang dibandingkan kekerasan.
Dengan sekitar 50.000 sel animasi, gerakannya tampak dinamis dan ekspresif, sementara desain suara yang kaya menciptakan nuansa seperti musikal animasi klasik.
Karya ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah awal animasi Jepang karena perpaduan teknik, pesan moral, dan keindahan visualnya.
Film ini terpilih dalam kompetisi film panjang Annecy International Animation Film Festival 2025.
Proyek ini merupakan kolaborasi antara Kinoshita Baku dan Konomoto Kazuya, kreator di balik ODDTAXI (2021).
Film ini bekerja sama dengan Studio CLAP, yang sebelumnya sukses dengan Pompo: The Cinéphile (2021).
Mereka menghadirkan film animasi baru yang berani dan tengah menarik perhatian dunia, yang dijadwalkan tayang di Jepang pada Oktober ini.
Ceritanya berpusat pada seorang anggota yakuza yang sekarat dan berusaha mengubah nasibnya di akhir hidup.
Film Shall We Dance bercerita tentang Sugiyama, seorang pegawai kantoran yang hidup bersama istri dan putrinya.
Ia terpikat pada sosok wanita cantik yang dilihatnya dari jendela studio dansa saat perjalanan pulang kerja, lalu diam-diam mengikuti kelas dansa tanpa sepengetahuan keluarga dan rekan-rekannya.
Dari sekadar rasa penasaran, Sugiyama kemudian berlatih dengan tekun hingga akhirnya mampu ikut berkompetisi di ajang dansa.
Film Long Night karya Kusakari Yui, pemenang SKIP CITY AWARD, merupakan debut film panjang dari sutradara muda berbakat tersebut.
Karya ini mendapat pujian tinggi dari dewan juri tahun ini, termasuk Ishikawa Kei selaku ketua juri, karena dengan lembut menyoroti kesepian dan harapan generasi muda di era modern.
Film ini disebut sebagai karya yang berani dan menjadi kesempatan langka untuk menyaksikan lahirnya talenta baru dalam sinema Jepang.
Dalam film Akira Kurosawa’s Dreams, sang sutradara legendaris menghadirkan delapan segmen yang membentuk potret puitis tentang kehidupan dan imajinasi manusia, yaitu:
1. Sunshine Through the Rain
2. The Peach Orchard
3. The Blizzard
4. The Tunnel
5. Crows
6. Mount Fuji in Red
7. The Weeping Demon
8. Village of the Watermills
Setiap segmen merefleksikan sisi berbeda dari perjalanan batin Kurosawa.
Mulai dari rasa ingin tahu masa kanak-kanak, ketakutan terhadap bencana, hingga perenungan spiritual tentang kematian dan harmoni dengan alam.
Di sebuah komunitas Dominika-Amerika yang erat di Bronx, Rico (Juan Collado) menjalani musim panasnya dengan santai menjual koktail ilegal “nutcracker” dari pendingin pantai dan menggoda para gadis tanpa banyak memikirkan masa depan.
Namun keadaan berubah ketika kekasih remajanya, Destiny (Destiny Checo), mulai sering menginap di rumahnya dan mengubah apartemen kecil keluarga Rico menjadi panggung bagi kisah cinta muda yang berantakan dan penuh emosi.
Perlahan, keduanya harus menghadapi kenyataan pahit tentang kedewasaan yang datang terlalu cepat di kota yang tak pernah menunggu siapa pun.
Film Girls on Wire mengisahkan Tian Tian, seorang ibu tunggal yang terpaksa membunuh pengedar narkoba demi melarikan diri dari penyekapan.
Bersama putrinya yang masih berusia lima tahun, ia kini hidup sebagai buronan dan hanya bisa mencari perlindungan pada sepupunya, Fang Di, seorang pemeran pengganti di industri film.
Kisah ini menyoroti perjuangan dua perempuan yang terjebak di antara realitas keras kehidupan dan dunia sinema yang penuh ilusi.
Film Kika mengisahkan seorang ibu tunggal bernama Kika yang sedang terpuruk patah hati dan kesulitan ekonomi namun menolak menyerah pada hidup.
Secara tak terduga, Kika menemukan pekerjaan baru yang jauh lebih menguntungkan daripada pekerjaannya sebagai pekerja sosial menyakiti orang lain dengan persetujuan mereka.
Anehnya, justru lewat cambuk di tangannya, ia mulai menemukan kembali rasa percaya diri yang sempat hilang.
Dari situ, Kika perlahan menyadari cara tak biasa untuk memulihkan luka batinnya sendiri.
Film White House mengisahkan Dé, seorang pemuda yang mendapat kabar bahwa neneknya sedang berada di tahap akhir hidupnya.
Bersama dua sahabatnya, Adrianin dan Martins, Dé memutuskan untuk menghabiskan waktu berharga terakhir bersama sang nenek.
Ia berusaha menciptakan kenangan penuh kasih dan kebersamaan di tengah kesedihan yang tak terelakkan.
Berlatar Inggris tahun 1580, film Hamnet mengisahkan William Shakespeare, seorang pengajar Latin miskin yang jatuh cinta pada Agnes, perempuan bebas dan penuh semangat.
Hubungan mereka berkembang menjadi pernikahan yang menghasilkan tiga anak.
Namun, ketika Shakespeare meniti karier teaternya di London, Agnes harus mengurus rumah dan keluarga seorang diri.
Tragedi yang menimpa kemudian menguji ikatan mereka, tetapi justru dari pengalaman pahit itu lahirlah karya abadi Shakespeare, Hamlet.
Disutradarai oleh Chloé Zhao (Nomadland, The Rider), film ini menjadi potret puitis tentang kerumitan cinta dan kekuatan penyembuhan melalui seni serta kreativitas.
Film ini mengisahkan Riku dan Manami, dua remaja yang secara tak terduga bertukar tubuh pada musim panas di tahun pertama sekolah menengah mereka.
Meskipun sudah berusaha keras untuk kembali seperti semula, lima belas tahun berlalu tanpa hasil.
Selama waktu itu, keduanya menjalani berbagai fase penting kehidupan sambil hidup sebagai satu sama lain.
Hingga di usia tiga puluh, Manami akhirnya mengungkapkan bahwa ia mungkin telah menemukan cara untuk mengembalikan keadaan mereka.
Dibintangi oleh Yoshine Kyoko dan Takahashi Kaito, serta disutradarai oleh Sakashita Yuichiro.
Film ini diadaptasi dari novel pemenang penghargaan karya Kimijima Kanata yang menggugah penonton untuk merenungkan hidup dan orang-orang yang mereka sayangi.
Berlatar di akhir tahun 1990-an di pedesaan utara Malaysia, dekat perbatasan Thailand, film ini menggambarkan kehidupan Hong Im, seorang janda yang menghabiskan siang harinya bertani dan malamnya menggunakan kekuatan magis untuk menolong warga desa yang sakit.
Serangkaian peristiwa misterius kemudian mengungkapkan kebenaran tak terduga tentang kematian suaminya.
Disutradarai oleh Chong Keat Aun, yang sebelumnya dikenal lewat Pavane for an Infant (bagian Asian Future TIFF 2024).
Film ini memadukan realisme dan fantasi untuk menghadirkan potret pedesaan tempat sang sutradara tumbuh besar.
Aktris ternama Fan Bingbing, peraih penghargaan Aktris Terbaik TIFF 2010 lewat Buddha Mountain, tampil memukau dalam peran yang sepenuhnya mengubah citra dirinya di layar.
Setelah meninggalkan kesan mendalam lewat Tokyo Sunrise (2015) dan Summer Blooms (2017), sutradara Nakagawa Ryutaro kembali dengan bab penutup triloginya.
Film ini berkisah tentang Michi, yang pulang ke kampung halamannya setelah mengetahui bahwa sang ibu, Kanako, tak memiliki banyak waktu tersisa.
Usahanya untuk merawat ibunya justru ditolak, sementara kehamilannya dan kesedihan suaminya, Toshizo, atas kehilangan seorang teman lama, menambah beban emosionalnya.
Saat Michi menemukan rekaman kaset yang mengungkap kisah cinta masa lalu ibunya, ia perlahan mulai memahami sosok Kanako dan belajar menerima cinta yang diwariskan sang ibu sebagai kekuatan untuk melangkah maju.
Berlatar Palestina pada masa pemerintahan Inggris tahun 1936, film Palestine 36 menggambarkan pemberontakan nasionalis yang dipicu oleh perlawanan warga Arab Palestina terhadap pemukim Yahudi dan kekuasaan kolonial Inggris.
Kisahnya berpusat pada Yusuf, seorang pemuda yang mencintai kehidupan tradisional di desanya namun terseret dalam ketegangan sosial dan politik di Yerusalem.
Dengan skala epik, film ini menelusuri bagaimana peristiwa pada masa itu membentuk identitas nasional Palestina.
Lebih dari sekadar drama sejarah, Palestine 36 menjadi refleksi mendalam atas akar dari situasi Palestina masa kini.
Film ini disutradarai oleh Annemarie Jacir, salah satu sutradara perempuan terkemuka dari Palestina, dan menampilkan Jeremy Irons sebagai Komisaris Tinggi Inggris.
Film ini mengisahkan seorang guru sekolah menengah yang berusaha tampak tenang dan dewasa di tengah tekanan, berpura-pura tahu dan pura-pura tidak peduli agar segalanya tetap terkendali.
Namun, semua berubah ketika sebuah skandal besar mengguncang dunia pendidikan dan masyarakat luas.
Dalam situasi itu, sang guru harus menghadapi kenyataan pahit: para muridnya memiliki kedewasaan emosional yang jauh melebihi dugaannya.
Cerita orisinal ini menyoroti aturan sekolah Jepang yang unik, kerasnya dunia kerja para guru, serta kekacauan media sosial dan berita daring yang memperumit kehidupan modern di dunia pendidikan.
Festival Film Internasional Tokyo 2025 bukan sekadar ajang pemutaran film, melainkan juga perayaan gagasan, emosi, dan keberagaman perspektif dari para sineas dunia.
Dari animasi klasik hingga drama kontemporer, setiap film menghadirkan potongan kisah manusia yang mengajak penonton merenungi hidup, budaya, dan perubahan zaman melalui lensa sinema.
Sumber:
(PENULIS: KOMPAS.COM/PITRI NOVIYANTI)